1. PENGERTIAN
Paradigma merupakan cara pandang yang mendasar dari seorang ilmuan.
Paradigma tidak hanya membicarakan apa yang harus dipandang, tetapi juga
memberikan inspirasi, imajinasi terhadap apa yang harus dilakukan, sehingga
membuat perbedaan antara ilmuan satu dengan yang lainnya.
|
Joko Widodo |
Paradigma merupakan konstelasi teologi, teori, pertanyaan, pendekatan, dan
prosedur yang dikembangkan dalam rangka memahami kondisi sejarah dan keadaan
sosial, untuk memberikan konsepsi dalam menafsirkan realitas sosial.
Paradigma merupakan konstalasi dari unsur-unsur yang bersifat metafisik,
sistem kepercayaan, filsafat, teori, maupun sosiologi dalam kesatuan
kesepakatan tertentu untuk mengakui keberadaan sesuatu yang baru.
Paradigma adalah model atau sebuah pegangan untuk memandu mencapai tujuan.
Paradigma, juga merupakan pegangan bersama yaang dipakai dalam berdialog
dengaan realitas. Paradigma dapat juga disebut sebagai prinsip-prinsip dasar yang akan
dijadikan acuan dalam segenap pluralitas strategi sesuai lokalitas masalah dan
medan juang.
2. PERAN PARADIGMA
Dengan paradigma pergerakan, diharapkan tidak terjadi dikotomi modal
gerakan didalam PMII, seperti perdebatan yang tidak pernah selesai antara model
gerakan “jalanan” dan gerakan “pemikiran “.
Gerakan jalanan lebih menekankan pada praksis dengan asumsi percepatan
transformasi sosial. Sedangkan model gerakan pemikiran bergerak melalui
eksplorasi teoritik, kajian-kajian, diskusi, seminar, dan pertemuan ilmiah yang
lainnya, termasuk penawaran suatu konsep kepada pihak-pihak yang memegang
kebijakan, baik ekskutif, legislatif, maupun yudikatif.
Perbedaan antara kedua model tersebut tidak hanya terlihat dalam praksis
gerakan, tetapi yang berimplikasi pada objek dan lahan garapan. Apa yang
dianggap penting dan perlu oleh gerakan jalanan belum tentu dianggap penting
dan perlu oleh gerakan pemikiran dan begitu sebalikmya, walaupun pada dasarnya kedua model tersebut merupakan satu kesatuan.
Dalam sejarahnya, gerakan mahasiswa selalu diwarnai perdebatan model
jalanan dengan intelektual-intelektual. Begitu juga sejarah gerakan PMII selalu
diwarnai dengan “pertentangan” yang termanifestasikan dalam gerakan
politik-struktural dengan gerakan intelektual-struktural dengan gerakan intelektual-kultural.
Semestinya kedua kekuatan model tersebut tidak perlu dipertentangkan sehingga
memperlemah gerakan PMII itu sendiri. Upaya untuk mencari prinsip dasar yang
menjadi acuan segenap model gerakan, menjadi sangat penting untuk dirumuskan.
Sehingga pluralitas setinggi apapun dalam model dan strategi gerakan, tidak
menjadi masalah, dan bahkan secara sinergis bisa saling menguatkan dan
mendukung.
Letak paradigma adalah dalam menjaga pertanggungjawaban setiap pendekatan
yang dilakukan sesuai dengan lokalitas dan kecenderungan masing-masing.
|
IAN |
3. PENERAPAN
Sepanjang sejarah PMII dari Tahun 80an hingga 2010, ada 3 (tiga) Paradigma
yang telah dan sedang digunakan. Masing-masing menggantikan model paradigma
sebelumnya. Pergantian paradigma ini mutlak diperlukan sesuai perubahan dengan
konteks ruang dan waktu. Ini bersesuaian dengan kaidah Taghoyyurul ahkami bi taghoyyuril azminati wal amkinati. Bahwa hukum
itu bisa berubah sesuai dengan perubahan waktu dan tempat. Berikut ada beberapa
jenis paradigma yang disinggung pada pembahasan di atas:
a. Paradigma Arus Balik
Masyarakat Pinggiran
Nalar gerak PMII secara teoritik mulai terbangun secara sistematis pada
masa kepengurusan Muhaimin Iskandar (Ketum) dan Rusdin M. Noor (sekjend)
1994-1997. Untuk pertama kalinya istilah paradigma yang populer dalam bidang
sosiologi digunakan dalam PMII.
Paradigma pergerakan dirasa mampu untuk menjawab kegerahan anggota
pergeraan yang gerah dengan situasi sosial-politik nasional. Era pra reformasi
di PMII menganut paradigma Arus Balik Masyarakat Pinggiran.
Paradigma ini muncul dikarenakan restrukturisasi yang dilakukan orde baru
telah menghasilkan format poltik baru yang ciri-ciri umumnya tidak jauh berbeda
dengan negara-negara kapitalis pinggiran (peripheral capitalist state) di
beberapa negara Amerika Latin dan Asia. Ciri-ciri itu
antara lain adalah.
- Munculnya negara
sebagai agen otonom yang perannya kemudian “mengatasi” masyarakat yang
merupakan asal-usul eksistensinya.
- Menonjolnya peran dan fungsi birokrasi dan teknokrasi dalam proses
rekayasa sosial, ekonomi dan politik.
- Semakin terpinggirkannya sektor-sektor “populer” dalam masyarakat (termasuk kaum intelektual).
- Diterapkannya model politik eksklusioner melalui jarigan-jaringan
korporatis untuk menangani berbagai kepentingan politis.
- Penggunaan secara efektif hegemoni idiologi untuk memperkokoh dan melestarikan
sistem politik yang ada.
Rezim Orde Baru adalah lahan subur bagi sikap perlawanan PMII terhadap
negara yang hegemonik. Sikap perlawanan itu didorong pula oleh teologi antroposentrisme
transendental yang memposisikan manusia sebagai Kholifatullah fil ardh.
Hal penting lain dari paradigma ini adalah mengenai proses rekayasa sosial
yang dilakukan PMII. Rekayasa sosial yang dilakukan melalui dua pola, pertama,
melalui advokasi masyarakat, kedua, melalui Free Market Idea.
Advokasi dilakukan untuk korban-korban perubahan, bentuk gerakannya ada tiga
yakni, sosialisasi wacana, penyadaran dan pemberdayaan, serta pendampingan.
Cita-cita besar advokasi ialah sebagai bagan dari pendidikan politik
masyarakat untuk mencapai angan-angan terwujudnya civil society. Kemudian
yang diinginkan dari Free Market Idea adalah tejadinya transaksi gagasan
yang sehat dan dilakukan oleh individu-individu yang bebas, kreatif sebagai
hasil dari proses liberasi dan independensi.
b. Paradigma Kritis
Transformatif
Pada periode sahabat Saiful Bahri Anshari (1997-2000) diperkenalkan
paradigma Kritis Transformatif. Pada hakikatnya,
prinsip-prinsip dasar paradigma ini tidak jauh berbeda dengan paradigma Arus
Balik. Titik bedanya terletak pada kedalaman teoritik serta pengambilan eksemplar-eksemplar
teori kritis madzhab Frankfurt serta krtisisme intelektual muslim seperti,
Hasan Hanafi, Ali Asghar Enginer, Muhammad Arkoun dll.
Di lapangan terdapat konsentrasi pola yang sama dengan PMII periode
sebelumnya, gerakan PMI terkonsentrasi di aktivitas jaanan dan wacana kritis.
Semangat perlawanan terhadap negara dan dengan kapitalisme global masih
mewarnai gerakan PMII.
Kedua paradigma sebelumnya mendapat ujian berat ketika KH. Abdurrahman
Wahid (almarhum) terpilih menjadi presiden ke-4 RI pada November 1999. para
aktivis PMII dan aktivis civil society umumnya mengalami kebingungan
saat Gus Dur yang menjadi tokoh dan simbol perjuangan civil society
Indonesia naik ke tampuk kekuasaan.
Aktivis pro-demokrasi mengalami kebingungan antara mendampingi Gus Dur dari jalur
ekstraparlementer, atau bersikap sebagaimana pada presiden-presiden sebelumnya.
Mendampingi atau mendukung didasari pada kenyataan bahwa masih banyak
unsur-unsur orba yang memusuhi preiden ke-4 ini.
Pilihan tersebut memunculkan pendapat bahwa aktivis pro-demokrasi telah
menanggalkan semangat perlawanannya. Meski demikian secara rasional sikap PB.
PMII dimasa kepengurusan Nusron Wahid (2000-2002) secara tegas terbuka
mengambil tempat mendukung demokrasi dan reformasi yang secara konsisten dijalankan oleh presiden Gus Dur.
c.
Paradigma Menggiring Arus, Berbasis Realitas
Pada masa kepengurusan sahabat Heri Harianto Azumi (2006-2008) secara
massif, paradigma gerakan PMII masih kental dengan nuansa perlawanan frontal
baik baik terhadap negara maupun terhadap kekuatan kapitalis internasional.
Sehingga ruang taktis-strategis dalam kerangka cita-cita gerakan yang
berorientasi jangka panjang justru tidak memperoleh tempat. Aktifis-aktifis
PMII masih mudah terjebak larut dalam persoalan temporal-spasial, sehingga
perkembangan internasional yang sangat berpengaruh terhadap arah perkembangan
Indonesia sendiri sulit dibaca. Dalam kalimat lain, dengan energi yang belum
seberapa, aktifis PMII sering larut pada impian membendung dominasi negara dan
ekspansi neoliberal saat ini juga. Efek besarnya, upaya strategis untuk
mengakumulasikan kekuatan justru masih sedikit dilakukan.
Celakanya, konsep-konsep yang dipakai di kalangan akademis kita hampir
seluruhnya beraroma liberalisme. Sehingga di tingkat intelektualpun tidak ada kemungkinan untuk meloloskan diri dari
arus liberalisme.
Dengan kata lain dalam upaya melawan neoliberalisme banyak gerakan
terperangkap dalam knsep-konsep Liberalsme, Demokrasi, HAM, Civil Society,
Sipil vs Militer, Federalisme, dll yang dipakai sebagai agenda substansial padahal dalam lapangan
politik dan ekonomi, kesemuanya nyaris menjadi mainan negara-negara neoliberal.
Persoalan sulitnya membangun paradigma berbasis realitas paralel dengan
kesulitan membuat agenda nasional yang berangkat dari kenyataan Indonesia.
Konsekuensi yang harus diambil dari penyusuan paradigma semacam ini adalah,
untuk sementara waktu organisasi akan tersisih dari gerakan mainstream.
Bagaimanapun untuk membangun gerakan kita harus mendahulukan kenyataan dari
pada logos.