-
This is default featured slide 1 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.
-
This is default featured slide 2 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.
-
This is default featured slide 3 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.
-
This is default featured slide 4 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.
-
This is default featured slide 5 title
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.
Formulir pendaftaran Ketua Cabang
- Nama Lengkap :...............................................
- Tempat Tanggal Lahir :................................................
- Agama :...............................................
- Status :...............................................
- Jenis Kelamin :................................................
- Pekerjaan :................................................
- Fakultas :...............................................
- Jurusan :...............................................
- Email :...............................................
- NIK (Nomor KTP) :................................................
- Ijazah Terakhir :.................................................
- Alamat Tempat Tinggal :.................................................
- Kel./Desa/Kec./Kab. :................................................
- No. Hp/Tlpn :.................................................
- Nama Ayah Kandung :..................................................
- Pekerjaan Ayah Kandung :..................................................
- Tempat Tanggal Lahir :.................................................
- Alamat Ayah Kandung :..................................................
- Nama Ibu Kandung :.................................................
- Tempat Tanggal Lahir :.................................................
- No. HP/Tlpn.Ayah/Ibu :..................................................
PMII, SEJARAH DAN ORIENTASI GERAKANNYA PRA REFORMASI
Oleh : Hakim Madda
Masa-masa paling heroik terutama bagi yang mempunyai kesadaran bernegara, barangkali paling kentara pada tahun 1960-an. Kala, itu hampir seluruh warga negara mendapat ruang untuk mengaktualisasikan sikap politiknya. Barsamaan dengan itu pula, banyak orang yang menyebut dengan ”era paceklik” bagi perekonomian Indonesia. Saking maraknya kehidupan partai-partai, orang-orang menjadi tersesat dalam bingkai-bingkai kelompok ideologis yang berwarna-warni. Muncullah isme-isme baru; nasionalisme, sosialisme, komunisme, yang menjadi wadah terhimpunnya warga.
Kondisi semacam ini tidak terkecuali bagi perkumpulan (jam’iyyah) Nahdatul Ulama (NU). Hampir mayoritas anggota jam’iyyah mengafiliasikan dirinya dalam NU dan harus bergabung dengan organisasi yang telah disediakan oleh NU. Muslimat NU (bagi kaum ibu), fatayat (remaja putrid), pemuda Ansor (bagi pemuda), IPNU (bagi pelajar), IPPNU (bagi pelajar putrid). Sementara satu-satunya wadah yang belum terbentuk pada waktu itu adalah bagi para mahasiswa. Maka pada tahun 1960, tepatnya pada tanggal 17 April, para tokoh muda pada saat itu, Mahbub Djunaidi, Zamroni, Said Budairy, beberapa tokoh mahasiswa sepakat mendirikan PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), sebagai wadah kepada mahasiswa yang berafiliasi dengan partai NU, waktu itu.
Dalam konteks ruang dan waktu itu (baca: sistem politik multipartai, kondisi ekonomi yang sangat mempihatinkan, dan PMII yang menjadi underbrow partai NU), maka saat itu, kecuali lebih mengedepankan “wajah” politiknya, tentu saja wadah politik PMII kala itu equivalen dengan sikap dan model politik NU, sebagai induk partai, dengan bahasa lain, seluruh aktivitas sosialnya di dedikasikan demi dan untuk “kepentingan” politik NU. Karena itu mudah dimaklumi, jika PMII kurang tepat dikatakan sangat sulit menyuarakan kehendak dan “kepentingan” dirinya sebagai organisasi pergerakan. Pertanggung jawaban pengurus PMII bukan saja pada warganya, tetapi juga pada organisasi induknya, NU. Implikasi dari situasi semacam ini, bagi PMII kurang mendapat “ruang” cukup, untuk mengaktualisasikan kemampuannya secara maksimal, terutama pada aspek-aspek non politik. Pergulatan pemikiran sebagai karakter dasar setiap pergerakan mahasiswa kurang mendapat tempat.
Akan tetapi pada titik inilah peran politik PMII dalam sejarah politik Indonesia menemukan momentumnya. Sejarah mengajarkan kepada kita bahwa dalam era ini kondisi sosial masyarakat berada pada titik nadir secara ekonomi. Resim sukarno “orla” telah jatuh pada situasi despotic dan gagap mengatasi krisis ekonomi rakyat yang berkepanjangan. Memang hal ini diakibatkan oleh kebijakan sukarno yang menggariskan “ideologi berdikari” yang mengakibatkan ditangguhkannya sejumlah bantuan luar negeri. Inflasi mencapai 600% dan diperburuk dengan kebijakan soekarno yang melakukan “politik konfrontasi” dengan Malaysia, dimana akibatnya separuh dari Anggaran Belanja Negara disedot untuk pembiayaan politik Soekarno tersebut.
Hingar-bingar “politik aliran” dalam sejarah politik Indonesia pasca kemerdekaan, bukan saja menempati posisi khusus bagi perubahan politik Indonesia di kemudian hari, tetapi ia juga menjadi studi yang selalu menarik bagi pengamat, akademisi, peneliti, baik dalam maupun luar negeri.
Era politik multipartai ini, secara sederhana ada empat perioditasi yang dapat diajukan, pertama; periode kelahirannya sampai kurang lebih 1973-an, satu era dimana PMI menjadi underbow partai NU pada era ini PMII tampil sebagai ujung tombak partai NU dalam melakukan sosialisasi dan propaganda program dan cita-cita politik, partai, PMII sudah barang tentu mempuyai “ideology” gerakan yang sama dengan partai NU. PMII pada erah ini baik partai pilitik yang mencoba menjadi juru bicara masyarakat dalam menyuarakan keadilan dan kebenaran, sambil “berteriak”, melalui sejumlah aksi massa, terhadap sejumlah kepentingan sosial utamanya kemiskinan dan kelaparan dibanyak perkampungan Indonesia. Karenanya pada era ini muncul pemimpin-pemimpin PMII yang kharismatik dan berwibawa dihadapan massa, seperti Mahbub Djunaidi “bintang” dalam politik kepemudaan di panggun politik saat itu. Keluarga besar partai NU, baik pemuda Ansor, IPNU atau PMII ibarat para “koboi-koboi kota” yang mampu bertarung dengan “Musuhnya”, PKI dan underbownya. Bahkan ketika HMI hendak dibubarkan oleh rezim Sukarno atas usulan PKI, maka barisan NU termasuk PMII-lah yang membela secara politik maupun massa untuk tetap dipertahankan. Pada perkembangan berikutnya, terjadi reformasi politik maupun perubahan kebijakan pembangunan politik, banyak orang-orang dari partai NU dan termasuk PMII “disingkirkan”, hal ini adalah persoalan lain yang dapat kita perdebatkan sebagai kajian historis organisasi ini. Tetapi sejarah mencatatan bahwa PMII dalam sejarah republik terutama saat-saat kelahiran ORBA ikut memberikan peran politik yang sangat besar. Ibarat koboi kota, setelah memenangkan pertarungan itu kembali ke kampung dan melakukan “aktvitas agraris” yang tersedia di sudut-sudut perkampungan Indonesia.
Kedua, tahun 1973 sampai akhir 1980-an dapat disebut sebagai masa pencarian identitas diri setelah keluar dari partai NU. Sepanjang era ini masih tersisa “tarik-menarik” antara kiyai dan “senior” NU yang tidak menginginkan PMII keluar dari NU, berhadapan dengan kelompok-kelompok yang setuju dengan kesepakatan Murnajati. Priode ini dapat pula di sebut masa-masa tradisi dan konsolidasi.Tugas utama PMII pada priode ini adalah melakukan konsolidasi secara menyeluruh.Hal ini mengingat PMII berada dalam situasi transisi yang sebelumnya merupakan organisasi dependen (bergantung) pada partai NU, menjadi organisasi idependen yang tidak lagi terikat baik secara structural organisatoris maupun tindakan. Sebuah era dimana atmosfir politik dalam panggung politik orba mengalami pergesekan. Kehidupan politik mengalami penataan ulang yang diorientasikan kepada Stabilitas politik, ketenangan politik. Pada era ini pula partai-partai politik di rasionalisasikan menjadi tiga kekuatan Formal. Tidak seperti masa sebelumnya, dimana gerakan-gerakan politik organisasi mahasiswa ikut menentukan kebijakan pemerintah, maka dalam periode ini benar-benar merupakan era domestifikasi, era “penjinakan” gerakan mahasiswa, dan karenanya kehidupan berorganisasi mengalami “kelesuan” yang luar biasa. Akhirnya mahasiswa pun merasa tidak puas, karena telah terjadi penyimpangan dari yang dulu mereka dambakan dan perjuangkan, yaitu kehidupan negara yang betul-betul mengamalkan Pancasila dan UUD 45. penyimpangan tersebut terutama dalam pemilu 1971 dan 1977. ketidak puasan mahasiswa dituangkan melalui cara-cara menyuarakan aspirasinya lewat Koran-koran kampus yang hidup dengan suburnya, disamping aksi coret-coret kampus dengan plakat-plakat berisi protes yang bernada tuntutan, bahkan aksi turun jalan menuntut kepemimpinan nasional kembali kejalan semuala. Hal ini dilakukan menjelang sidang umum MPR 1978, namun, pemerintah beranggapan lain, aksi mahasiswa itu dinilai menjerumuskan pada perorangan wibawa pemerintah dan menggangu stabilitas nasional. Para tokoh mahasiswa penggerak aksi ditangkap dan dimejahijaukan dengan tuduhan merongrong wibawa pemerintah dan menggangu stabilitas nasional, tidak luput dari aksi penangkapan itu adalah sahabat Ahmad Bagja (ketua umum PB. PMII) agar tidak bergerak memobilisir mahasiswa .
PMII periode 1994-1997 dapat pula disebut sebagai era “kebangkitan kembali” PMII dengan identitas yang :tegas”, tegas terhadap ketidak adilan penyelenggaraan pemerintah, kekokohan tingkat basis (mahasiswa), serta mengibarkan bendera Islam yang inklusif, toleran dan egaliter. Disini mahasiswa memakai istrumen kekuatan opini massa sebagai pendorong munculnya diskusi publik soal aspirasi-aspirasi mahasiswa, seperti demokratisasi, keterbukaan, pemerataan ekonomi, kepastian hukum dan masalah-masalah yang berhubungan dengan hak asasi manusia, . para aktivis sering memulai gerakannya dengan mimbar bebas Era kebangkitan kembali dengan suatu identitas yang jelas bagi PMII, merupakan momentum yang relevan untuk tetap dipertahankan, dan bahkan harus diusahakan untuk ditindak lanjuti dengan tahapan-tahapan yang terencana. Karena itu, tegas PMII mendatang khususnya pengurus korcab, semakin menggairakan intelektualitas yang dilandasi nilai-nilai spritualitas, serta ikut memikirkan nasib masa depan negara kesatuan RI, yang sampai hari ini sedang dalam :ujian besar” menjalani pemilu baik legeslatif maupun pemilihan presiden secara langsung 2004.
Dengan latar historis serta realitas obyektif “atmosfir” PMII saat ini, maka saya mengajukan beberapa tawaran yang bersifat ideologis, politis maupun pragmatis bagi PMII mendatang. Secara makro berangkali PMII harus lebih menekankan diri pada wilayah pengembangan intelektual warga, serta bertanggung jawab atas masa depan bangsa. Dalam konteks ini PMII harus mengorientasikan diri pada tiga persoalan pokok, memperkokoh basis massa (mahasiswa) dan basis cultural. Hal ini merupakan titik tekan utama, karena sebagai organisasi mahasiswa, PMII akan tetap bertahanan, jika ia mampu memberikan “nilai lebih” bagi mahasiswa itu sendiri. Sekaligus memberikan pemahaman di masa mendatang.
Ketiga, pemberdayaan poitik warganya melalui penanaman kesadaran hal dan kewajibannya sebagai warga negara. Tanpa landasan akan hak dan kewajiban, maka perilaku seorang warga negara baik dalam bidang politik ekonomi dan perilaku di sosial lainnya hanya akan mempertimbangakan kepentinan peribadinya.
Keempat, revitalisasi tradisi. Pengertiannya penanaman kesadaran di kalangan intelektual khususnya ilmu pengetahuan klasik yang bersumber dari Islam ataupun dari yunani. Meminjam istilah lain, baik yang bersumber dari timur maupun barat, yang semakin di tinggalkan oleh kalangan mahasiswa. Upaya ini tentu dilakukan secara terus menerus oleh setiap mahasiswa, sehingga pada ujungnya terciptalah berbagai komunitas yang berbudaya ditanah air. Sehingga pada kurun tertentu, entah generasi yang kesekian setelah generasi ini, mereka dapat hidup dalam masyarakat Indonesia yang berpendapat.
Orientasi PMII dalam konteks revitalisasi tradisi ini dapat dirangkum dalam idiom “gerakan pembaharuan” tanpa memangkas pilar tradisi atau “ perkawinan tradisi” dan “modernisasi meminjam istilah santri “al-Muhafadhah ala Qodimi al-Shalih wa al akhdz ala Jadydi Ashlah”, merawat nilai-nilai yang baik dan mengadopsi nilai-nilai baru yang lebih baik.
Pertayaannya barangkali, mengapa harus tradisi ? ada banyak penjelasan untuk menjawab pertayaan ini. Akan tetapi PMII memandang bahwa perubahan masyarakat akan mempuyai makna jika ia berangkat dari nilai-nilai yang diacu oleh masyarakat itu sendiri. Perubahan masyarakat Indonesia bukan sekedar melakukan alih teknologi, transfer ilmu pengetahuan ataupun adopsi budaya yang sama sekali barat, dengan implikasi yang sangat gawat, terciptanya produk-produk berupa “manusia mesin”. Manusia tanpa hati murani, manusia yang telah kehilangan kemanusiaanya. Kenyataan di beberapa negara menyebutkan bahwa modernisasi tanpa ditopang dengan tradisi yang kokoh bukan saja menciptakan alineasi masyarakat (keterasingan), tetapi lebih jauh lagi akan menciptakan dehumanisasi masyarakat.
Tradisi yang dipahami PMII dalam konteks ini, memiliki spektrum yang luas. Hanya dapat didefinisikan dalam beberapa makna. Pertama, tradisi dalam pengertian ruang dan waktu dimana warga PMII berbeda. Yakni bahwa akar kultur warga PMII adalah bagian dari masyarakat agraris (rural society) dan masyarakat santri (baca :Abdurrahman wahid, pesantren sebagai sub kultur). Kesadaran akan tradisi dan kultur menjadi penting, karena ia merupakan bagian dari kesadaran akan sejarahnya. Masyarakat agraris dan santri adalah lambang dari mayarakat paguyuban yang mampu hidup berdampingan dengan siapa pun secara dami. Simbol dari kebersamaan, egaiter, serta keadilan yang dilandasi nilai-nilai religius. Dengan kesadaran ini pula warga PMII akan mampu hidup perdampingan dengan siapapun secara damai tanpa dibatasi oleh perbedaan etnis, budaya, agama atau perbedaan yang lain.
Kedua, tradisi dimaknai sebagai wacana. Yaitu khazanah intelektual, ilmu pengetahuan Islam klasik karya para pemikir muslim dimasa lalu (ulama salaf). Pemahaman ini menjadi sangat penting dan relevan bagi warga PMII, sebagai salah satu upaya terhadap pemahaman Islam secara holistic. Tanpanya, seorang muslim siapapun akan mudah terjebak menjadikan Islam sebagai ideology dalam pengertian yang sempit. Yakni menjadikan Islam sebagai basis dari identitas politik (political identy). PMII memandang hal semacam ini tidak relevan dalam konteks kehidupan masyarakat indonesia sekarang ini.
Tradisi dimaknai sebagai nilai-nilai yang ada dan berkembang di bumi nusantara sampai nation state (negara bangsa) yang bernama Indonesia terbentuk. Dalam ari yang luas, PMII menyadari bahwa negara Indonesia ada, bukan sesuatu yang taken for granted (ada dengan sendirinya), tepai lebih merupakan sebuah usaha dan perjuangan panjang nenek moyang kita. Kemudian menemukan momentum yang sangat berarti pada tanggal 17 Agustus 1945. karenanya jika pada perkembangan sejarah, Indonesia harus berubah “wajah” menjadi sebuah negara modern, maka niscaya ia akan tetap bersandar dari nilai-nilai asli (indigenous) yang sudah dan akan terbentuk dalam bumi nusantara tersebut, sampai terwujudnya masyarakat Indonesia sekarang.
Ketiga, revitalisasi tradisi membangkitkan kepada gerakan religiusitas. Apa yang dimaksdu dengan religiusitas dalam konteks garakan, adalah suatu gerakan yang dibangun diatas landasan nilai-nilai agama. Sebuah semangat profanisasi ajaran (nilai) agama dalam aktivitas keduniawian. Hal ini dilandasi atas kemerosotan moral di kalangan para pemimpin bangsa, yang tentu salah satunya disebabkan oleh terkikisnya penghayatan terhadap agama yang dianutnya. Revitalisasi tidak hanya menggali kembali nilai-nilai (tradisi) agama yang ada, akan tetapi lebih jauh lagi menjadikan agama sebagai “roh” dari setiap tindakan sosial seseorang baik tindakan sosial seseorang baik tindakan politik, tindakan ekonomi maupun tindakan sosial lainnya. Dari berbagai sumber Ketua Umum PB. PMII dan Periodenya :
1. H. Mahbub Djanaidy (1960-1963)
2. H. Mahbub Djunaidy (1963-1967)
3. Muh. Zamroni (1967-1967)
4. Muh. Zamroni (1970-1973)
5. Abduh Paddare (1973-1977)
6. Ahmad Bagja (1977-1981)
7. Muhyiddin Arubusman (1982-1984)
8. Surya Darma Ali 91985-1988)
9. M. Iqbal Assegaf 01988-1991)
10. Ali Masykur Musa (1991-1994)
11. A. Muhaimin Iskandar (1994-1997)
12. Syaiful Bahri Anshori (1997-2000)
13. Nurson Wahid (2000-2003)
14. A. Malik Haramain (2003-2005).
Naskah Baiat
Namun, jika sahabat-sahabat tidak berniat untuk dibaiyat pada hari ini maka saya persilahkan untuk mundur satu langkah karena baiyat ini adalah sumpah untuk menjadi anggota pergerakan mahasiswa islam indonesia.
ketika melanggar sumpah ini, maka itu adalah dosa terbesar yang akan kita pertanggung jawabkan dihadapan Allah SWT.
Ketika ada oknum-oknum yang melecehkan organisasi ini menginjak-injak almamater dan bendera PMII maka kita harus mempertaruhkan jiwa dan raga kita untuk PMII. Harus disadari bahwa bendera ini almamater ini adalah harga diri kita semuanya.
Baiklah saya bacakan naskah bai'at ini dan ulangi apa yang saya katakan.
Mars dan Hymne PMII
Mars PMII
Inilah kami wahai Indonesia
Satu barisan dan satucita
Pembela bangsa penegak agama
Tangan terkepal dan maju kemuka
Habislah sudah masa yang suram
Selesai sudah derita yang lama
Bangsa yang jaya Islam yang benar
Bangun tersentak dari bumiku subur
(reff)
Denganmu PMII pergerakanku
Ilmu dan bakti kuberikan
Adil dan makmurku perjuangkan
Untukmu satu tanah airku
Untukmu satu keyakinanku
Inilah kami wahai Indonesia
Satu angkatan dan satu jiwa
Putera bangsa bebas merdeka
Tangan terkepal dan maju kemuka
Hymne PMII
Bersemilah..Bersemilah ..
Kader PMII
Tumbuh subur..tumbuh Subur..
Kader PMII
Masa depan di tanganmu
Untuk meneruskan perjuangan
Bersemilah..bersemilah..
Kauharapan bangsa
Antropologi Kampus
1. Pengertian Antropologi
Ditinjau dari segi bahasa antropologi terdiri dari dua kata, yaiti antropos dan logos. Antropos yang berarti manusia dan logos yang berarti ilmu pengetahuan, jadi antropologi adalah ilmu yang mempelajari manusia dan kehidupannya atau penyelidikan tehadap manusia dan kehidupanya.
Antropologi mempelajari manusia sebagai makhluk biologis sekaligus makhluk sosial. Secara garis besar antropologi bisa dibagi menjadi dua macam. Yang pertama ialah antropologi fisik, yang obyek kajiannya berupa manusia sebagai organisme biologis. Sedangkan kedua ialah antropologi budaya, yang obyek kajiannya terkait manusia sebagai makhluk sosial (ber)budaya.
MenurutKoentjaraningrat, Antropologi adalah ilmu yang mempelajari umat manusia pada umumnya dengan mempelajari aneka warna, bentuk fisik masyarakat serta kebudayaan yang dihasilkan.
2. Pengertian Kampus
Kampus, berasal dari bahasa Latin; campus yang berarti “lapangan luas”, “tegal”. Dalam pengertian modern, kampus berarti, sebuah kompleks atau daerah tertutup yang merupakan kumpulan gedung-gedung universitas atau perguruan tinggi.
Kampus merupakan tempat belajar-mengajar berlangsungnya misi dan fungsi perguruan tinggi. Dalam rangka menjaga kelancaran fungsi-fungsi tersebut, UIN Maulana Malik Ibrahim Malang sebagai lembaga pendidikan tinggi yang mengembangkan tugas Tri Dharma Perguruan Tinggi, memerlukan penyatuan waktu kegiatan beserta ketentuan-ketentuan di dalam kampus.
Dalam hubungannya dengan mahasiswa, rektorat membentuk sistem yang mengatur posisinya dengan mahasiswa, dari mulai stuktural, birokrasi sampai kepada norma-norma yang diciptakan sesuai dengan kondisi sosial yang ada, misalnya pada kampus berlatar Islam tentunya ada adat-adat yang harus bernafaskan Islam, dsb. Dan, begitu pula halnya pada hubungan antara mahasiswa dengan mahasiswa.
Dalam dunia kampus pasti tidak akan pernah lepas dari kata mahasiswa. Mahasiswa merupakan komponen utama, karena disitulah para mahasiswa itu berproses mengembangkan dirinya. Selain itu, mahasiswa merupakan unsur terbanyak diluar civitas akademika yang ada. Mahasiswa yang banyak itu, pastinya juga membawa karakter dan budaya yang berbeda-beda karena datang dari berbagai penjuru daerah.
Sebagai anggota PMII yang juga merupakan mahasiswa perlu memahami tipe-tipe dari mahasiswa, sehingga mampu menempatkan dirinya dalam tipe yang seperti apa. Dalam pengklasifikasian ini sifatnya tidak bisa dibilang paten, karena setiap diri kita bisa membuat tipologi sesuai dengan yang kita lihat dan rasakan. Yang paling penting dari pengklasifikasian mahasiswa ini adalah, kita mampu memetakan jenis-jenis mahasiswa sehingga mampu “bermain” dalam lingkungan tersebut.
a. Akademis
Mahasiswa seperti ini biasanya adalah mahasiswa yang menonjol dalam bidang nilai akademik. Waktunya kebanyakan digunakan untut menuntut ilmu. Dan yang parah dari mahasiswa ini adalah, ketika mereka hanya berorientasi nilai saja.
b. Aktivis
Mahasiswa ini adalah mahasiswa yang bergabung dalam organisasi tertentu, baik ekstra maupun intra. Sekarang, banyak anggapan negative bagi mahasiswa aktivis ini. Mulai dari sering bolos, sampai dengan sering membantah dosen. Sayangnya pendapat ini memang digunakan oleh orang-orang yang kurang suka pada aktivis dan ingin menjatuhkannya.
c. Hedonis (Mahasiswa Hura-hura)
Yaitu mahasiswa yang hidup dengan mengikuti perkembangan zaman, up to date, gaul dan populer, namun usaha mengikuti perkembangan zaman tidak dibarenge dengan kesadaran bahwa perkembangan zaman bersifat absurd yakni menawarkan kesenangan tanpa manfaat. Bersinggungan dengan label hedoni ini, kita mengenal istilah borjuis, yaitu golongan kaya dengan kehidupan mewah yang membangun tembok besar dengan orang-orang proletar dan anti borjuasi, golongan ini biasanya bersikap apatis terhadap realitas sosial-politik.
Seakan dua kata tersebut tidak dapat dipisahkan, karena dengan organisasi inilah mahasiswa dapat mengembangkan diri dalam wawasan, dan potesi yang dimilkinya.Tapi hal itu tidak disadari oleh setiap mahasiswa, sebagian lain –justru dalam golongan yang lebih besar- organisasi dijadikan “momok” atau penghambat dalam akademiknya. Kebanyakan mereka berpendapat bahwa dengan ikut berorganisasi akan menjadikan nilai anjlok, prestasi buruk, juga menyita banyak waktu, biaya dan tenaga. Tetapui sedikit sekali yang berfikir tentang dampak positif yang nantinya menjadi bekal kelak kembali ke masyarakat.
Pada kampus organisasai bisa dibedakan menjadi dua, yaitu organisasi intra kampus (OMIK) dan organisasi ekstra kampus (OMEK). Organisasi intra kampus adalah organisasi yang secara administrative dan struktural berhubungan dengan kampus, sedangkan organisasi ekstra kampus adalah organisasi independen yang baik struktur dan administrasinya lepas dari manapun serta mempunyai aturan–aturan secara mandiri, dan lepas dari pengawasan manapun. Sehingga organ ini lebih berani menyuarakan aspirasi secaralantang.
Yayasan Pengembangan Sumber Daya Insani Puangrimaggalatung Sengkang yang terdiri dari dua jurusan yaitu STIA dan STKIP juga berbagai kampus-kampus lainnya baik itu umum maupun khusus yang ada di kabupaten Wajodengan ciri dan karakter yang berebeda ternyata sangat berpengaruh pada cara berpikir mahasiswa dalam menilai suatu masalah. Dari berbagai diaolog dan pembicaraan yang saya lakukan pada sahabat-sahabat dan pertanyaan yang dilontarkan kepada senior-senior baik di dalam kampus maupun di luar kampus dan lain sebagainya,“Kenapa sih tidak minat dan aktif dalam organisasi ekstra kampus seperti PMII ? padahal itu menungjang nilai di kampus”. Dari beberapa jawaban dan pendapat sahabat dan senior kebanyakan berpendapat bahwa “itu menghalangi jadwal aktivitas perkuliahan yang bisa membuat kita bersifat apatis terhadap proses perkuliahan dan dapat membuat nilai maupun kehadiran menurun bahkan anjok.ada pula yang beralasan karna dihalangi oleh kesibukan-kesibukan di berbagai bidang lainnya”.
Organisasi ekstra kampus khususnya PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia)adalah organisasi independen dan tidak terikat oleh ormas lainnya, lembaga mahasiswa yang tidak tercekcoki atau berhubungan dengan institusi-institusi pemerintah maupun masyarakat, berfungsi sebagai wadah dan sarana yang bertujuan untuk membackup mahasiswa dalam menambah wawasan dan ilmu pengetahuan serta mengajak para mahasiswa kritik, berdinamika dan ulul al-bab, membentuk pribadi muslim Indonesia yang bertaqwa kepada Allah SWT. berbudi luhur, berilmu, cakap dan bertanggung jawab dalam mengamalkan ilmunya dan komitmen memperjuangkan cita-cita kemerdekaan Indonesia. Maka dari itu anggapan bahwa organisasi ekstra kampus menghalangi aktivitas di kampus baik itu nilai maupun kehadiran tidaklah seperti itu, bukan penghambat bagi mahasiswa di kampus, bahkan sebaliknya bahwa relita organisasi ekstra kampus khususnya PMII menungjang nilai dan menambah kecerdasan intelektual bagi mahasiswa di rana lingkup kehidupan kampus.
Pengaruh Kebijakan NKK/BKK
Setelah gerakan mahasiswa 1978, praktis tidak ada gerakan besar yang dilakukan mahasiswa selama beberapa tahun akibat diberlakukannya konsep Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) oleh pemerintah secara paksa.
Kebijakan NKK dilaksanakan berdasarkan SK No.0156/U/1978 sesaat setelah Dooed Yusuf dilantik tahun 1979. Konsep ini mencoba mengarahkan mahasiswa hanya menuju pada jalur kegiatan akademik, dan menjauhkan dari aktivitas politik karena dinilai secara nyata dapat membahayakan posisi rezim. Menyusul pemberlakuan konsep NKK, pemerintah dalam hal ini PangkopkamtibSoedomo melakukan pembekuan atas lembaga Dewan Mahasiswa, sebagai gantinya pemerintah membentuk struktur keorganisasian baru yang disebut BKK. Berdasarkan SK menteri P&K No.037/U/1979 kebijakan ini membahas tentang Bentuk Susunan Lembaga Organisasi Kemahasiswaan di Lingkungan Perguruan Tinggi, dan dimantapkan dengan penjelasan teknis melalui Instruksi Dirjen Pendidikan Tinggi tahun 1978 tentang pokok-pokok pelaksanaan penataan kembali lembaga kemahasiswaan di Perguruan Tinggi.
Kebijakan BKK itu secara implisif sebenarnya melarang dihidupkannya kembali Dewan Mahasiswa, dan hanya mengijinkan pembentukan organisasi mahasiswa tingkat fakultas (Senat Mahasiswa Fakultas-SMF) dan Badan Perwakilan Mahasiswa Fakultas (BPMF). Namun hal yang terpenting dari SK ini terutama pemberian wewenang kekuasaan kepada rektor dan pembantu rektor untuk menentukan kegiatan mahasiswa, yang menurutnya sebagai wujud tanggung jawab pembentukan, pengarahan, dan pengembangan lembaga kemahasiswaan.
Dengan konsep NKK/BKK ini, maka peranan yang dimainkan organisasi intra dan ekstra kampus dalam melakukan kerjasama dan transaksi komunikasi politik menjadi lumpuh. Ditambah dengan munculnya UU No.8/1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan maka politik praktis semakin tidak diminati oleh mahasiswa, karena sebagian Ormas bahkan menjadi alat pemerintah atau golongan politik tertentu. Kondisi ini menimbulkan generasi kampus yang apatis, sementara posisi rezim semakin kuat.
Sebagai alternatif terhadap suasana birokratis dan apolitis wadah intra kampus, di awal-awal tahun 80-an muncul kelompok-kelompok studi yang dianggap mungkin tidak tersentuh kekuasaan refresif penguasa. Dalam perkembangannya eksistensi kelompok ini mulai digeser oleh kehadiran wadah-wadah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang tumbuh subur pula sebagai alternatif gerakan mahasiswa. Jalur perjuangan lain ditempuh oleh para aktivis mahasiswa dengan memakai kendaraan lain untuk menghindari sikap represif pemerintah, yaitu dengan meleburkan diri dan aktif di Organisasi kemahasiswaan ekstra kampus seperti HMI (himpunan mahasiswa islam), PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia), PMKRI (Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia), GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia) atau yang lebih dikenal dengan kelompok Cipayung. Mereka juga membentuk kelompok-kelompok diskusi dan pers mahasiswa.
Beberapa kasus lokal yang disuarakan LSM dan komite aksi mahasiswa antara lain: kasus tanah waduk Kedung Ombo, Kacapiring, korupsi di Bapindo, penghapusan perjudian melalui Porkas/TSSB/SDSB.
Memasuki awal tahun 1990-an, di bawah Mendikbud Fuad Hasan kebijakan NKK/BKK dicabut dan sebagai gantinya keluar Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan (PUOK). Melalui PUOK ini ditetapkan bahwa organisasi kemahasiswaan intra kampus yang diakui adalah Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT), yang didalamnya terdiri dari Senat Mahasiswa Fakultas (SMF) dan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM).
Dikalangan mahasiswa secara kelembagaan dan personal terjadi pro kontra, menamggapi SK tersebut. Oleh mereka yang menerima, diakui konsep ini memiliki sejumlah kelemahan namun dipercaya dapat menjadi basis konsolidasi kekuatan gerakan mahasiswa. Argumen mahasiswa yang menolak mengatakan, bahwa konsep SMPT tidak lain hanya semacam hiden agenda untuk menarik mahasiswa ke kampus dan memotong kemungkinan aliansi mahasiswa dengan kekuatan di luar kampus.
Dalam perkembangan kemudian, banyak timbul kekecewaan di berbagai perguruan tinggi karena kegagalan konsep ini. Mahasiswa menuntut organisasi kampus yang mandiri, bebas dari pengaruh korporatisasi negara termasuk birokrasi kampus. Sehingga, tidaklah mengherankan bila akhirnya berdiri Dewan Mahasiswa di UGM tahun 1994 yang kemudian diikuti oleh berbagai perguruan tinggi di tanah air sebagai landasan bagi pendirian model organisasi kemahasiswaan alternatif yang independen.
Dengan dihidupkannya model-model kelembagaan yang lebih independen, meski tidak persis serupa dengan Dewan Mahasiswa yang pernah berjaya sebelumnya upaya perjuangan mahasiswa untuk membangun kemandirian melalui SMPT, menjadi awal kebangkitan kembali mahasiswa ditahun 1990-an.
Gerakan yang menuntut kebebasan berpendapat dalam bentuk kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik di dalam kampus pada 1987 – 1990 sehingga akhirnya demonstrasi bisa dilakukan mahasiswa di dalam kampus perguruan tinggi. Saat itu demonstrasi di luar kampus termasuk menyampaikan aspirasi dengan longmarch ke DPR/DPRD tetap terlarang.
PMII merupakan organisasi ekstra terbesar di YPSDI STIA & STKIP Puangrimaggalatung Sengkang, Namun hal ini menjadi suatu ironi melihat banyaknya kader yang berada pada zona nyaman dan tak mampu bersikap kritik lagi. Seharusnya sudah tugas PMII mencerdaskan kehidupan mahasiswa STIA & STKIP Puangrimaggalatung Sengkang, sehingga mampu berpikir kritik terhadap realita sosial yang ada.
Melihat kondisi dunia mahasiswa hari ini, PMII harus lebih matang dalam mengembangkan visi dan misinya. PMII harus bisa menjadi organisasi “gaul” yang sesuai dengan tuntutan jaman, tentunya tanpa meninggalkan budaya-budaya PMII yang ada. PMII dituntut tetap menarik ditengah ababilnya mahasiswa-mahasiswa STIA & STKIP Puangrimaggalatung Sengkang.
Diakui atau tidak, saat ini PMII lebih banyak dan mendomininasi di STIA & STKIP Puangrimaggalatung Sengkang. Banyak kader PMII yang menjadi pimpinan dan menduduki posisi strategis di organisasi intra kampus. Ini berarti tugas dari sahabat-sahabat PMII bisa dikatakan berat, karena selain harus menjalankan roda organisasi di PMII juga di intranya. Namun ingat sahabat, bahwa kita terjun dalam perpolitikan intra bukan semata-mata hanya mencari materi ataupun eksistensi saja. Lewat intralah pintu awal kaderisasi kita, lewat intralah kita mampu mengkritisi langsung kebijakan kampus, dan masih banyak hal-hal lainnya.
Oleh karena itu kader-kader PMII harus mampu mempersiapkan diri sebaik mungkin baik dari segi kapasitas keilmuan maupun kecakapan managerial dalam organisasi. Sehingga nantinya ketika masuk dunia organisasi intra sudah matang dan siap tempur, hal ini wajib dipenuhi karena hal tersebut adalah tanggung jawab sebagai kader PMII.
Hal lain yang perlu dicermati oleh kader-kader PMII adalah, kader PMII yang berada di tataran intra kampus harus mampu dan bisa mengcounter setiap kebijakan-kebijakan yang ditelurkan oleh akademik yang itu tidak berpihak kepada kepentingan akademik mahasiswa. Sesunggungnya banyak sekali kebijakan-kebijakan kampus yang tidak berpihak kepada kepentingan secara akademis mahasiswa, contohkanlah pembangunan infrstruktur kampus secara berlebihan, dikekangnya mahasiswa untuk tidak ikut organisasi dan masih banyak lagi. Bila hegemoni sistem ini terus kita biarkan, bukan tidak mungkin peran-peran mahaiswa yang ada dikampus akan semakin redup dan lambat laun akan mati. Ironis memang ditengah budaya demokrasi yang di agung-agungkan mahasiswa malah ciut. Ini yang harus segera kita benahi dan mengawal tradisi advokasi bergerak mewarisi visi ulama’ untuk bangsa.
Analisis Wacana
Oleh Thomas Hanitzsch
Tujuan tulisan ini adalah untuk memberikan sumbangan pemikiran terhadap tulisan R. Kristiawan dan Nuraini Juliastuti yang dimuat di KUNCI (8, 2000). Berangkat dari memperdalam kritik terhadap kosep hegemoni saya akan merevisi kajian terhadap majalah remaja HAI.
R. Kristiawan sangat benar ketika mengkritik konsep hegemoni yang dikembangkan oleh Antonio Gramsci, karena wacana Gramsci ternyata tidak membantu untuk mengerti interdependensi (bukan dependensi!) kultural antara dunia Barat dan dunia Timur maupun antara dunia Utara dan Selatan. Proses globalisasi itu memang jauh lebih kompleks.
Gramsci menyimpulkan bahwa budaya Barat sangat dominan terhadap budaya di negara-negara berkembang, sehingga negara berkembang terpaksa mengadopsi budaya Barat. Dalam konteks pembangunanisme, konsep Gramsci memang sangat dekat dengan dasar pemikiran teori dependensi (Cardoso), termasuk imperialisme struktural (Johan Galtung) dan imperialisme kultural (Herbert Schiller).
Model-model pembangunan tersebut gagal karena empat faktor: pertama, proses diferensiasi di dunia ketiga sendiri, terutama kesuksesan ekonomi beberapa negara berkembang dengan menggunakan strategi yang berorientasi pada pasar dunia, justru menentang kesimpulan-kesimpulan utama teori hegemoni dan dependensi (Rullmann 1996). Kedua, teori-teori tersebut memanfaatkan sebuah perspektif global dan dengan demikian tidak menyadari adanya ketidakseimbangan sosial, struktur patrimonial dan eksploitasi di negara-negara berkembang sendiri (Servaes, 1995). Ketiga, teori hegemoni dan dependensi ternyata gagal dalam mengusulkan solusi-solusi yang bermanfaat dalam konteks global (ibid). Keempat, referensi historis yang mengarah kepada masa penjajahan dan hegemoni ekonomi global sebagai sebab kemacetan perkembangan di sebagian Dunia Ketiga harus dilihat sebagai hal yang sangat problematis. Perlu kita ingat bahwa Afghanistan misalnya, yang tidak pernah dijajah oleh negara Barat, sampai sekarang tetap tidak mampu berkembang, dilihat tidak hanya dari perspektif model demokrasi Barat.
Bahkan James D. Halloran, salah seorang penasehat komisi MacBride 20 tahun yang lalu, berpendapat bahwa riset terhadap perkembangan di Dunia Ketiga cenderung justru mempertajam ketergantungan negara-negara berkembang pada Barat. Lalu dia bertanya, apakah imperialisme kultural dan imperialisme media diikuti imperialisme penelitian? (Halloran, 1998). Saya pikir, tidak. Apa gunanya?
Persepsi tentang Antonio Gramsci oleh pakar sosiologi di dunia ketiga yang sangat positif itu barangkali terjadi karena mereka sering dengan mudah dan tidak kritis mengadopsi model dan teori sosiologi Barat yang sudah ketinggalan jaman seperti modernisme, dependensi dan hegemoni. Dengan demikian, tanggung jawab atas segala kegagalan di Dunia Ketiga bisa dilempar ke negara-negara maju.
Saya sangat setuju dengan yang ditulis R. Kristiawan bahwa media massa tidak merupakan ‘alat penguasa untuk menciptakan reproduksi ketaatan’ (KUNCI 8, 2000). Media massa sebenarnya tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan bagian dari masyarakat. Dalam bahasa teori sistem sosial yang terus menerus dikembangkan di Jerman, fungsi media massa adalah memungkinkan pengamatan diri masyarakat (Marcinkowski 1993). Fungsi media massa sebenarnya bukan ‘merekonstruksikan realitas sosial’, sebagaimana ditulis oleh Ana Nadhya Abrar, pakar jurnalistik di Universitas Gadjah Mada (Abrar 1997). Dengan kata lain, media massa merupakan cermin kebaikan dan keburukan masyarakat, bukan mencerminkan (dalam arti meng-copy) keadaan masyarakat. Media di Indonesia maupun di negara lain sama parahnya dengan keadaan masyarakat.
Tidak ada gunanya kalau kita terus bertanya, kenapa pemberitaan di media massa begitu parah? Menurut Niklas Luhmann, sosiolog Jerman, seharusnya kita bertanya, seberapa parah kondisi masyarakat kita sampai kita membutuhkan cermin media seperti itu? (Luhmann, 1996)
Dalam konteks ini, maka saya tidak sepenuhnya setuju dengan pengertian Nuraini Juliastuti terhadap media massa dalam kajiannya terhadap majalah remaja HAI. Dalam tulisannya "Majalah HAI dan 'Boyish Culture'" (KUNCI 8, 2000) ia hendak menjawab pertanyaan "bagaimana sistem operasi dari konstruksi budaya dan konstruksi sosial itu bekerja membentuk dominasi ideologi maskulinitas lewat media massa".
Pertama, pertanyaan tersebut tetap tidak terjawab. Akhirnya, bagaimana sistem itu sebenarnya beroperasi? Kedua, pertanyaan Nuraini Juliastuti tampaknya mengandung dua premis pernyataan yang belum terbukti, yaitu adanya arus informasi yang bersifat satu arah dan adanya dampak media massa yang cukup berarti terhadap publik.
Sebagian besar pakar cultural studies selama ini masih melihat konsumsi media massa sebagai proses penciptaan budaya yang berkaitan dengan kuasa (Ang 1999) dan mengandung bahaya hegemoni Barat (Hepp 1999). Walaupun demikian, suatu perubahan dalam pengertian cultural studies terhadap media massa sudah terlihat. Douglas Kellner misalnya menuntut pendekatan metateoretis dan multiperspektifis dalam menganalisis proses penyampaian pesan media (Kellner 1999).
Demikian juga pakar-pakar sosiologi yang memanfaatkan potensi teori sistem sosial pasca-Talcott Parsons. Proses penyampaian pesan dalam ilmu komunikasi kini dipandang sebagai proses yang dinamis dan transaksional. Artinya, khalayak juga aktif dalam proses tersebut. Publik tidak tinggal diam dan menerima pesan-pesan media massa begitu saja, melainkan paling tidak memilih pesan yang layak diterima. Sebaliknya, media juga sangat tergantung pada nilai-nilai kultural masyarakat pada umumnya.
Bila kita mau menyalahkan media massa atas perkembangan masyarakat yang tidak memuaskan itu, seharusnya kita membuktikan bahwa ada kenyataan murni yang bersifat universal (the truth out there), dan kita sebagai individu dapat mengamatinya dengan hasil yang sama. Akan tetapi, apa yang kita alami sebagai realitas itu hanya merupakan hasil konstruksi atau kognisi kita sendiri yang berdasarkan pengamatan atas realitas. Tentunya, ‘kenyataan’ Anda berbeda dengan ‘kenyataan’ saya walaupun kita mengamati realitas murni. Kesimpulan kita berbeda karena cara pengamatan yang dipakai tidak sama (Luhmann 1990).
Dengan demikian muncul pertanyaan, apakah layak bila kita sebagai ilmuwan menuntut media massa untuk mengkonstruksi realitas dengan cara pengamatan kita? Tentu tidak! Seorang peneliti mengamati realitas sosial dengan maksud mendapatkan kebenaran. Seorang wartawan mengamati realitas dengan maksud membuat berita yang relevan dan informatif buat pembacanya.
Walaupun demikian, kita sebagai peneliti tetap dapat meneliti dan terus mengkritik media massa. Akan tetapi, bila kita memanfaatkan pendekatan ontologis dan normatif dalam analisis media, maka posisi ilmu komunikasi atau sosiologi pada umumnya akan berada dalam posisi yang lemah. Kita perlu melihat media massa sebagai bagian dari masyarakat kita. Jangan kita bertanya seberapa parah pemberitaan di media massa kita masa kini. Melainkan bertanya, faktor-faktor apa yang memungkinkan penampakan media yang kurang memuaskan.
Thomas Hanitzsch
Peneliti Program S3 di Technische Universität Ilmenau, Jerman. Sekarang sedang melakukan penelitian tentang wartawan di Indonesia dan mengajar di Program Studi Ilmu Komunikasi, Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
Referensi
Abrar, Ana Nadhya (1997): Bila Fenomena Jurnalisme Direfleksikan, Jakarta.
Ang, Ien (1999): "Kultur und Kommunikation, Auf dem Weg zu einer ethnographischen Kritik des Medienkonsums in transnationalen Mediensystemen", in: Roger Bromley/Udo Göttlich/Carsten Winter (eds.): Cultural Studies, Grundlagentexte zur Einführung, Lüneburg, 317-340.
Cardoso, Fernando Henrique/Enzo Falletto (1979): Dependency and Development in Latin America, Berkeley.
Galtung, Johan (1971): "A Structural Theory of Imperialism", in: JOURNAL OF PEACE RESEARCH 8(1971)2, 81-117.
Halloran, James D. (1998): "Social Science, Communication Research and the Third World", in: MEDIA DEVELOPMENT (1998)2, 43-46.
Hepp, Andreas (1999): Cultural Studies und Medienanalyse, Eine Einführung, Opladen.
Kellner, Douglas (1999): "Medien- und Kommunikationsforschung von Cultural Studies, Wider ihre Trennung", in: Roger Bromley/Udo Göttlich/Carsten Winter (eds.): Cultural Studies, Grundlagentexte zur Einführung, Lüneburg, 341-363.
Luhmann, Niklas (1990): Soziologische Aufklärung 5, Konstruktivistische Perspektiven, Opladen.
Luhmann, Niklas (1996): Die Realität der Massenmedien, Opladen.
Frank Marcinkowski (1993): Publizistik als autopoietisches System, Politik und Massenmedien, Eine systemtheoretische Analyse, Opladen.
Talcott Parsons (1964[1951]): The Social System, New York/London.
Schiller, Herbert (1969): Mass Communication and American Empire, New York.
Kebudayaan Madzhab Negara
Oleh Mh Nurul Huda
Artikel yang sangat menarik dan berbobot ditulis oleh saudara Antariksa dan Puthut EA dengan judul “Kuasa Ekonomi Politik dan Kebudayaan Masyarakat” menanggapi tulisan saya di Kompas berjudul “Negara Perlu Mengurus Kebudayaan?”, dan dimuat kembali di KUNCI. Beberapa minggu lalu, seorang staf Litbang Departemen Kebudayaan dan Pariwista, Cecep Rukendi, juga menanggapi tulisan saya tersebut dengan judul “Pentingnya Negara Mengurusi Kebudayaan” (Sinar Harapan, 11/12/2004). Tulisan itu dibuat untuk menanggapi tulisan saya di harian Kompas mengenai keberatan dan skeptisisme saya terhadap intervensi negara yang ikut campur dalam mengatur persoalan kebudayaan.
Tulisan saya “Negara Perlu Mengurus Kebudayaan?” pertama-tama lahir karena hendak menggugat betapa besarnya cengkeraman negara dalam denyut nadi kehidupan masyarakat. Dengan gugatan itu saya yakin akan memperlonggar ruang perlawanan-perlawanan kultural masyarakat terhadap dominasi negara. Departemen Kebudayaan dan Pariwisata perlu digugat karena keberadaannya telah membuat kebudayaan sebagai arena resistensi kultural itu menjadi semakin sempit dan sesak. Dan keberatan saya ini sebenarnya sangat jelas terletak pada domain paradigmatik dan analisis terhadap implikasi praktis paradigma tersebut dalam seluruh kehidupan masyarakat. Inilah yang membedakan pandangan saya dengan pandangan saudara Cecep Rukendi yang tampak dalam pemaparan argumentasinya justru buru-buru melompat ke paparan yang serba normatif, dan oleh karena itu dangkal dan tampak mengalami kemiskinan analisis.
Dalam tulisan ini, saya akan memaparkan argumentasi paradigmatik yang bisa dipahami sebagai premis-premis dasar yang membangun seluruh posisi dan pendirian intelektual dan politis saya yang tentu saja akan berbeda dengan argumentasi-argumentasi praktis yang pernah saya ajukan dalam tulisan saya terdahulu. Tulisan ini juga sekaligus ingin mempertegas posisi saya terdahulu sekaligus sedikit mempertajam gagasan yang dilontarkan oleh saudara Antariksa dan Phutut EA di atas.
Paradigma Negara vs Kebudayaan
Dalam khazanah pemikiran politik dipahami bahwa negara adalah sebuah institusi politik yang keberadaannya dibentuk oleh suatu konsensus bersama masyarakat yang plural dan heterogen berdasarkan kepentingan warganya. Dan bukan sebaliknya negara yang membentuk dan menciptakan masyarakat. Konsekuensi dari pandangan pertama akan melahirkan suatu bentuk masyarakat yang demokratis di mana hak-hak kelompok masyarakat yang menjadi komunitas dalam negara tersebut dihargai dan dijamin eksistensinya; sementara pada pandangan yang kedua lazim berlaku dalam negara totalitarian di mana etatisme negara telah sampai ke arah penyeragaman dan pendisplinan terhadap kehidupan warganegara.
Embrio totalitarianisme selalu muncul dari kehendak negara untuk secara politis dan ideologis menguasai dan mengendalikan seluruh kehidupan masyarakat demi kepentingan penguasa, entah atas nama stabilitas keamanan, nasionalisme, patriotisme, harga diri bangsa, dan seterusnya. Pretensi seperti inilah yang pernah dimiliki oleh pemerintahan Nazi di Jerman dengan “menegarakan” semua urusan masyarakat, atau dengan kata lain “mentotalisasikan” gerak dan nadi kehidupan masyarakat ke dalam jaringan urat syaraf pusat kekuasaan negara tanpa menyisakan ruang sejengkalpun bagi kreatifitas dan kebebasan mereka. Semuanya berada dalam situasi under-control oleh negara.
Berbeda dengan model kekuasaan seperti itu, sebuah negara yang demokratis dan beradab akan menjamin keseimbangan antara entitas negara dan masyarakat. Dan untuk mencapai cita-cita tersebut negara seyogyanya mengurusi seminimal mungkin persoalan-persoalan kemasyarakatan dan membiarkan masyarakat sendiri mengembangkan kehidupan sosialnya secara manusiawi.
Dalam kehidupan sosial masyarakat inilah sesungguhnya hakikat kebudayaan bisa ditemukan. Ia adalah hasil interaksi sosial antara pribadi, individu-individu, dan kelompok-kelompok masyarakat dalam rangka merajut tatanan sosial bersama, membangun kehidupan yang emansipatoris dan mengusahakan agar tetap hidup survive. Dengan demikian, kebudayaan sebenarnya adalah kehidupan itu sendiri, tempat di mana semua persoalan dibicarakan dan didekati secara kultural. Kebudayaan lahir, berkembang dan semakin kaya dalam proses interaksi sosial manusiawi, tepat ketika kita meyakini bahwa kearifan masyarakat adalah titik fundamental menuju bangunan masyarakat yang manusiawi dan bermartabat.
Kebudayaan tidak berdiri di atas kekuasaan. Pendekatan politik terhadap kebudayaan justru akan melahirkan keputusan-keputusan dan kebijakan yang akultural (lugasnya bisa dibaca: tidak beradab) karena ia ditentukan oleh mekanisme kekuasaan yang justru menganggap kebudayaan sebagai konsep-konsep tunggal dan statis yang disusun di atas lembaran kertas dan menjadi agenda yang dijalankan berdasarkan sebuah program kerja beserta hitung-hitungan budgeting anggaran.
Negara dan Birokratisasi Kebudayaan
Salah satu konsekuensi kritis dari keterlibatan negara dalam rekayasa budaya akan menghasilkan apa yang kita sebut sebagai proses birokratisasi kebudayaan. Inilah yang tidak disadari oleh mereka yang biasa bekerja dalam sistem birokrasi karena mereka sendiri adalah bagian atau skrup dari sistem itu. Birokratisasi adalah model pengaturan, penataan, dan pengorganisasian secara rasional dan modern terhadap elemen politik maupun kultural masyarakat dengan tujuan meraih efisiensi dan produktifitas. Sistem birokrasi secara umum diterapkan dalam pengelolaan segala urusan kenegaraan agar bisa diselesaikan secara efisien sesuai dengan tujuan-tujuan pemerintahan. Karena itu pada hakikatnya birokrasi sesungguhnya tidak pernah netral, serta bebas nilai dan kepentingan. Justru sebaliknya proses birokratisasi penuh dengan nuansa rasionalitas instrumental guna mencapai tujuan tertentu secara tepat, terencana, dan efisien. Karena itu tidak salah bila Weber menyebut kehidupan birokrasi ini sebagai “iron cage”, sebuah penjara besi, yang memasung kehidupan manusia. Dalam birokrasi, pesona kehidupan menjadi hilang, musnah.
Bagaimana bila kebudayaan mengalami proses birokratisasi? Pada dirinya sendiri birokratisasi kebudayaan adalah contradictio in terminis. Birokratisasi adalah proses rekayasa untuk mencapai tujuan produktifitas dan efisiensi yang cenderung berorientasi politik instrumental, sementara kebudayaan berproses secara sosial dan kultural dalam kehidupan sehari-hari masyarakat yang senantiasa cair dan mengalir. Pendeknya kebudayaan selalu dalam proses “becoming” (menjadi), sedangkan birokratisasi cenderung meletakkan dan memaksakan entitas-entitas yang cair dan mengalir itu sebagai “being” (Ada) agar bisa dikerangkakan dalam sebuah kebijakan dan aturan yang mengikat. Atau dalam bahasa filsuf Jerman Martin Heidegger, birokratisasi kebudayaan adalah semacam “the way of revealing something as a standing reserve”, atau suatu bentuk “enframing” yang hendak mengkerangkakan kebudayaan sebagai sarana mengejar tujuan-tujuan dan kepentingan intrumentalis dan ideologis semata.
Di sini tentu saja pengerangkaan yang saya maksud adalah demi kepentingan dan rekayasa politik kekuasaan. Entah rekayasa ini masuk dan menjadi bagian dari hegemoni negara terhadap kehidupan warganegara, atau pola baru penyeragaman dan penaklukan terhadap resistensi kultural masyarakat sekaligus penyusupan kebijakan militerisme dalam ranah kultural, atau bahkan kecenderungan ekonomisasi kebudayaan. Bagian-bagian ini saling kait mengait dan berjalin kelindan dengan bagaimana kekuasaan negara membangun strategi dominasinya dalam kehidupan masyarakat secara “total”.
Ekonomisasi Kebudayaan
Kecenderungan ekonomisasi kebudayaan sebenarnya lahir dari apa yang disebut John B. Cobb, Jr. (seorang tokoh penerus Filsafat Proses) sebagai ekonomisasi politik. Artinya bahwa segala penyusunan kebijakan seringkali dibentuk oleh kepentingan-kepentingan ekonomi. Keuntungan ekonomilah yang men-drive dan mengendalikan kebijakan publik, kendati kebijakan tersebut harus mengorbankan orang lain. Meski memang biasanya faktor-faktor budaya, tradisi atau kepentingan religius memiliki peran dalam isu-isu publik, gejala mutakhir akhir-akhir ini menunjukkan bahwa kepentingan ekonomi memainkan peran determinan.
Dalam konteks inilah saya ingin kembali menegaskan bahwa asumsi para birokrat, dan para teknokrat yang bekerja untuk melayani birokrasi, yang menyatakan bahwa dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan meningkatkan prikehidupan kebudayaan adalah sesuatu yang naif dan omong kosong. Justru sebaliknya, apa yang terjadi sejak orde baru adalah ekonomisasi politik yang melahirkan kehancuran pada ranah kebudayaan. Pokok persoalannya justru terletak pada prinsip-prinsip ekonomi modern dan kekuasaan negara itu sendiri yang cenderung bersifat akultural (Herry Priyono menyebut kekuasaan ini sebagai sang “Leviathan”). Dalam arti ada proses pemaksaan dan penyeragaman yang dibangun atas nama pembangunanisme, modernisme, pertumbuhan ekonomi, stabilitas keamanan dan politik, stabilitas ekonomi (efisiensi dan produktifitas), dan seterusnya. Dalam hal ini cita-cita pembangunan jati diri bangsa dan kebudayaan nasional yang ditiupkan oleh kalangan birokrat dan penguasa tidak jauh dari hasrat dan kepentingan kekuasaan ini.
Dengan lugas bisa dikatakan, birokratisasi dan ekonomisasi kebudayaan sesungguhnya adalah representasi langsung perselingkuhan antara kepentingan modal dan kekuasaan. Sedang pecundangnya adalah komunitas subaltern (baca: komunitas marginal) dan masyarakat bawah sebagai pemilik kebudayaan itu sendiri. Inilah sisi gelap ideologi “kebudayaan madzhab negara” yang disokong para teknokrat kebudayaan kita.
MH NURUL HUDA, Peneliti kebudayaan pada Desantara Institute for Cultural Studies. Mahasiswa STF Driyarkara, Jakarta.
Perlukah Negara Perlu Mengurus Kebudayaan?
Oleh Mh Nurul Huda
URUSAN kebudayaan akhirnya diserahkan pada departemen khusus. Meski demikian, pertanyaan mendasar tetap perlu dikemukakan. Perlukah negara mengatur kebudayaan? Jika penting, masalahnya penting bagi siapa?
Persoalan ini mendesak diperbincangkan karena masalah kebudayaan terkait dengan kehidupan berbangsa dan bernegara. Masalah kebudayaan menyangkut pengalaman dan penghayatan masyarakat terhadap lingkungan sekitar, terutama terhadap hidupnya.
Sebagai cakrawala pengalaman hidup, masyarakat memiliki kebebasan menghayati cara dan pandangan hidupnya tanpa harus diintervensi, diatur, atau dipaksa siapa pun, termasuk negara. Bila itu terjadi, risikonya bisa fatal.
Pengalaman rezim Orde Baru memberi pelajaran pahit, betapa kebudayaan menjadi instrumen dalam skenario nasional untuk menundukkan rakyat, dan menjadikan mereka individu-individu yang patuh, tanpa energi kritis. Hal ini bisa dilihat, misalnya, lewat kebijakan bersemboyan "budaya nasional sebagai puncak budaya-budaya daerah" atau penanaman ideologi negara keluarga ala Orba.
Contoh pertama memuat kepentingan pemerintah saat itu untuk menyeleksi berbagai macam kebudayaan yang dianut masyarakat yang bisa dianggap menjadi modal "pembangunan". Budaya yang dianggap tak menyokong "pembangunan" dan mendukung "stabilitas nasional" berarti terbelakang, dianggap tak berbudaya (uncivilized). Karena itu, harus dieliminasi. Biasanya budaya semacam itu diperlawankan dengan budaya-budaya yang dianggap lebih membawa unsur kemajuan, "beradab", dan modern.
Secara ideologis, Orba menanamkan kekuasaan melalui pencitraan keluarga Indonesia yang harmonis dan patuh. Melalui manipulasi pencitraan, Orba memerintah negara dan membentuk bangsa bak keluarga harmonis. (Mengenai citra keluarga dalam politik Orba lihat S Shiraishi, Pahlawan-pahlawan Belia, 2001). Dalam perjalanannya, dua "diskursus" strategi budaya versi negara ternyata amat berorientasi harmoni dan totalitarian serta menyembunyikan maksud penyeragaman dan penaklukan.
DALAM diskursus kebudayaan belum pernah ditemukan definisi yang mapan mengenai apa itu kebudayaan. Memang para filsuf, antropolog, sosiolog, dan ilmuwan disiplin lain memberi definisi berbeda-beda. Perbedaan ini menunjukkan, tiap pendefinisian terhadap kebudayaan selalu bersifat perspektivis dan parsial. Maka, makna kebudayaan tak pernah benar-benar netral. Karena itu, selalu bersifat dinamis, bisa dipertukarkan dengan budaya kelompok lain yang berbeda dan tak pernah stabil karena selalu tergantung pada penghayatan serta pengalaman hidup individu dan masyarakat yang pada dasarnya selalu berubah.
Bila definisi minimalis terpaksa diberikan, meski mereduksi makna kebudayaan, misalnya budaya sebagai kepercayaan, nilai-nilai, norma, sentimen, dan praktik-praktik yang memberi makna dan nilai pada kehidupan manusia, siapa yang berhak dan berkompeten secara moral dan epistemologi menafsirkan kebudayaan? Pemerintah atau negara tertentu yang dianggap merepresentasikan rakyat atau bangsanya?
Jawabannya jelas, hanya pemilik dan penghayat nilai-nilai dan praktik kebudayaan itulah yang paling berkompeten menafsirkan. Karena mereka yang mencipta, mengalami, menghayati, dan menghidupi praktik-praktik budayanya. Karena itu, pemerintah atau negara tak berwenang menafsirkan budaya rakyatnya. Pendapat ini didasarkan tiga hal.
Pertama, secara teoritis elite pemerintah atau negara tidak memiliki kapasitas dan kompetensi memahami kebudayaan rakyatnya yang beragam. Kedua, secara empiris para elite umumnya tak memiliki kepedulian, sebaliknya justru merusak kekayaan budaya masyarakat. Hal ini tampak dalam kebijakan kebudayaan Orba dengan memperlakukan secara diskriminatif keberadaan agama dan kepercayaan yang berbeda-beda dalam masyarakat. Ketiga, model negara Leviathan Hobbes, yang menjadi impian para pemimpin totaliter dan biasanya diulang- ulang sebagai dasar negara kedaulatan yang berpretensi menghapus konflik dan memelihara perdamaian, kini sudah dianggap usang karena model ini tak mampu mengakomodasi keragaman kebudayaan dan perbedaan pandangan dalam negara yang plural dan heterogen.
Dalam teori politik modern, negara yang baik dan efektif adalah yang mampu mengurusi seminimal mungkin aneka masalah kemasyarakatan. Karena itu, pemerintah yang selalu bertendensi mengatasnamakan rakyat dan hendak mengurusi semua urusan masyarakat justru harus diwaspadai sebagai upaya mengintervensi kehidupan kultural masyarakat. Kapan rakyat bisa berbicara atas nama sendiri bila representasi kehidupan kulturalnya diambil alih negara?
DENGAN adanya departemen kebudayaan dalam susunan kabinet, sebenarnya menunjukkan, pemerintah masih menggunakan cara-cara dan paradigma Orba dalam manajemen politiknya. Bukan hanya kekhawatiran soal munculnya militerisme, tetapi juga kembalinya pandangan tradisional yang menganggap negara menjadi semacam panasea atau institusi politik yang berpretensi menyelesaikan segala persoalan dan semua urusan masyarakat.
Hal ini akan melahirkan bencana dan risiko politik. Pertama, ini membuat ruang kreatif masyarakat untuk mendiskusikan dan menyelesaikan aneka persoalannya kian sempit. Mekanisme dialog antarmasyarakat akan sarat diwarnai formalisme dan berkurangnya inisiatif masyarakat akibat pendekatan politik yang top-down.
Kedua, munculnya departemen kebudayaan akan menjadi semacam "kuda troya" bagi masuknya ragam kepentingan politik untuk menaklukkan dan melumpuhkan kembali daya- daya kultural masyarakat yang plural. Karena, kebudayaan tak pernah netral, departemen ini akan jadi persaingan dominasi kepentingan dan wacana berbagai kelompok yang mungkin akan menentukan arah kebijakan kebudayaan mendatang.
Ketiga, karena departemen kebudayaan adalah hasil representasi budaya yang diproduksi negara, besar kemungkinan terjadi misrepresentasi atas nilai, sentimen, praktik, dan tuntutan masyarakat atas aspirasi budayanya. Akibatnya, apa yang dibayangkan sebagai jati diri atau nilai budaya bangsa bisa jadi hanya manipulasi kepentingan penguasa. Sebagaimana klaim "nilai-nilai ketimuran", "nilai- nilai Asia", atau "nilai-nilai budaya nasional" yang selama ini digunakan elite penguasa sebagai pembenaran pelanggaran prinsip-prinsip demokrasi dan hak-hak politik masyarakat.
Berbagai persoalan itu adalah risiko ketika negara ditempatkan di atas segala-galanya dengan terlalu banyak mengurusi masalah masyarakat. Masalah ini akan menjadi bencana bila kita terlalu pasrah bongkokan tanpa sikap kritis terhadap kebijakan pemerintah yang telah dipilih secara demokratis ini.
MH NURUL HUDA, Peneliti pada Desantara Institute for Cultural Studies. Kini Anggota PKC PMII Jakarta.
Artikel ini dimuat di KOMPAS, Sabtu, 27 November 2004
Kuasa Ekonomi Politik dan Kebudayaan Masyarakat
Oleh Antariksa dan Puthut EA.
Berdasarkan referensi langgam kebijakan negara Orde Baru (Orba), Mh Nurul Huda mengkhawatirkan semakin mandulnya kebudayaan masyarakat karena diurus oleh negara (Kompas, 27/11). Urusan kebudayaan adalah urusan para pemilik, penghayat nilai-nilai dan praktik kebudayaan, yaitu masyarakat. Pertanyaan pentingnya adalah benarkah ancaman terhadap mandulnya kebudayaan masyarakat semata-mata datang dari sebuah institusi yang bernama negara? Dan lalu bagaimanakah posisi sesungguhnya negara dalam hal ini?
Ada sekian banyak alasan yang dikemukakan Nurul Huda untuk mendasari kesimpulan bahwa negara tidak perlu mengurus masalah kebudayaan. Salah satunya karena ia percaya pada teori politik modern bahwa negara yang baik dan efektif adalah yang mampu mengurusi seminimal mungkin aneka masalah kemasyarakatan. Selain itu, ia juga melihat setidaknya ada tiga alasan lain. Pertama, negara—yang dalam hal ini adalah elit politik—tidak mempunyai kompetensi dan kapasitas untuk memahami kebudayaan masyarakatnya yang beragam. Kedua, justru sebaliknya, negara bahkan merusak kebudayaan rakyatnya. Dan ketiga, model negara Leviathan tidak mampu mengakomodasi keragaman kebudayaan dan perbedaan pandangan dalam negara yang majemuk.
Sejauh menyangkut ancaman negara terhadap kebudayaan masyarakat, Nurul Huda telah melakukan pemetaan masalah dengan tepat. Tetapi ia lupa, bahwa ancaman terhadap kebudayaan masyarakat tidak hanya datang dari negara (kuasa politik). Ancaman yang tidak kalah bahayanya—atau malah jauh lebih berbahaya—justru datang dari ‘dunia modal’ (kuasa ekonomi). Pada titik persinggungan antara modal, negara, dan masyarakat, maka kita mesti lebih cermat memetakan peran negara—setidaknya perannya sebagai mesin regulasi yang penting.
Proses rontoknya kebudayaan masyarakat yang menyangkut kepentingan fundamental mereka justru terjadi karena perselingkuhan kuasa ekonomi dengan kuasa politik, antara modal dengan negara. Alih-alih melindungi dan mengakomodasi hak-hak ekonomi, sosial dan kebudayaan masyarakat, negara telah hampir berperan sempurna sebagai agen yang mengakomodasi kepentingan-kepentingan modal semata. Dari catatan sejarah kita bisa melihat bagaimana, misalnya, budaya tanah dan pertanian tradisional dirontokkan oleh kebijakan tanam paksa pemerintah kolonial Hindia Belanda dan kebijakan intensifikasi pertanian (Revolusi Hijau) Orba, budaya pengelolaan hutan tradisonal rontok oleh kebijakan HPH (Hak Penebangan Hutan), atau juga bagaimana kesenian tradisi dijinakkan menjadi sekedar hiburan untuk kepentingan pariwisata.
Paham bahwa negara adalah institusi yang netral telah lama kehilangan dasar alasannya. Pertama, karena memang seharusnya negara memperjuangkan kepentingan-kepentingan masyarakatnya. Dan kedua, karena pada praktiknya kita bisa melihat dengan gamblang bahwa banyak kepentingan yang bisa bermain dalam tubuh negara, baik penguasa modal ekonomi lokal maupun modal ekonomi internasional.
Tetapi pertemuan negara—yang merupakan representasi elit politik dan kekuatan modal ekonomi nasional—dengan modal internasional memang tidak selalu berjalan mulus. Dalam Peristiwa Mei 1998 (Reformasi) misalnya, restrukturisasi modal besar-besaran yang terjadi pada 1965, sekalipun ada hambatan dan riak kecil pada 1978, mendapatkan momentumnya pada 1998. Modal ekonomi internasional sudah tidak lagi bisa mengakomodasi ekonomi kroni Orba yang memakan banyak ongkos produksi, memunculkan keresahan sosial, yang pada gilirannya akan membahayakan dan merusak struktur modal mereka. Kepentingan modal ekonomi internasional itu kemudian bertemu dengan kekuatan rakyat yang bermotif perlawanan dan perbaikan ekonomi-politik.
Lalu bagaimana peta kekuasaan negara pascareformasi? Serta bagaimana kelanjutan peta konflik antara kekuatan modal dan kekuatan rakyat di tubuh negara?
Reformasi, seperti dikemukakan secara ringkas di atas, adalah pertemuan sementara antara kepentingan modal ekonomi internasional dengan daya rakyat melawan penindasnya. Oleh karena itu, langgam-langgam kebijakan reformasi kental dengan kebijakan kompromis. Pemilu multipartai, pemilihan presiden langsung, desentralisasi kekuasaan, dan banyak lagi yang lain, sesungguhnya adalah medan yang di dalamnya terjadi perebutan kepentingan terus-menerus antara kekuatan modal dan kepentingan masyarakat. Kebijakan-kebijakan tersebut bisa menguntungkan masyarakat sekaligus bisa membuka potensi yang besar bagi pemilik modal untuk semakin berkuasa. Masyarakat mempunyai peluang yang besar untuk memainkan bandul reformasi ini sesuai dengan kepentingan kelompok, sektor, maupun kepentingan wilayah mereka. Sedangkan penguasa modal ekonomi juga mempunyai potensi untuk bermain sampai tingkat yang paling kecil dan mendasar tanpa harus melewati birokrasi negara yang terpusat seperti di era Orba.
Bagaimanapun juga, kekuatan-kekuatan tersebut haruslah melewati institusi negara sebagai mesin birokrasi. Kekuatan masyarakat perlu meminjam atau memanfaatkan tangan negara untuk memperkuat perjuangannya, dan penguasa modal ekonomi memerlukan birokrasi negara agar bisa mengeluarkan kebijakan-kebijakan ramah modal. Di wilayah seperti inilah, maka peran negara mesti dilihat secara jeli. Karena tanpa peran negara, kebencian dan trauma masyarakat terhadap negara otoriter Orba, bisa jadi justru akan menikam balik mereka. Lepasnya masyarakat dari otoritarianisme negara, bukan berarti lepasnya masyarakat dari belenggu yang lain. Jika tidak berhati-hati, masyarakat memang bisa lepas dari mulut singa negara, tetapi masuk ke mulut buaya modal. Privatisasi BUMN, swastanisasi lembaga-lembaga pendidikan, dikuasainya hajat hidup masyarakat dalam hal tanah, air, dan sumber-sumber daya alam yang lain, adalah salah satu contoh masuknya masyarakat kita ke dalam mulut buaya modal.
Dengan peta masalah seperti di atas, menurut hemat kami justru negara harus tetap memainkan perannya, tetapi secara proporsional, dan di sisi yang lain masyarakat juga harus bersiasat memanfaatkan peran negara. Kebijakan-kebijakan yang membahayakan kebudayaan dan kepentingan masyarakat dari ancaman modal ekonomi besar haruslah lebih dulu dihadang oleh negara.
Apa yang kita alami sekarang memang masih menyisakan tanda tanya besar. Sebagai contoh, kalau dulu di era Orba kebudayaan disandingkan dengan pendidikan dalam Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, maka sekarang perubahannya tidak semakin baik karena kebudayaan diurus oleh Departemen Pariwisata dan Kebudayaan. Terlepas dari politik kebudayaannya yang masih sentralistis—seperti telah disinggung Nurul Huda—penyandingan kebudayaan dengan pariwisata jelas-jelas memerlihatkan dua hal. Pertama, hal ini merupakan upaya mengkomoditaskan kebudayaan. Dan kedua, hal ini masih melanjutkan “tradisi lama” mereduksi kebudayaan menjadi sekadar kesenian yang steril dan tak ada sangkut-pautnya dengan soal-soal ekonomi politik.
Kerja kebudayaan dalam tubuh negara seharusnya menjadi urusan semua departemen. Karena kerja kebudayaan tidak akan pernah bisa lepas dari kerja ekonomi politik. Misalnya, memudarnya kesenian tradisi dan kebijaksanaan lokal, bukanlah semata-mata soal kesenian yang menjadi tanggungjawab sebuah departemen khusus, melainkan hal itu berkaitan dengan masalah kebijakan pendidikan nasional, kebijakan tentang muatan lokal dalam siaran televisi, kebijakan otonomi daerah, kebijakan tentang investasi modal asing, dan sebagainya. Dengan demikian, kalaupun kerja kebudayaan dilakukan oleh sebuah departemen khusus, maka sifat kerjanya adalah lintas-departemen. Atau tidak perlu ada satu departemen khusus, namun pada masing-masing departemen ada sebuah divisi kebudayaan. Dengan catatan, kedua model tersebut harus mempunyai sikap kebudayaan yang jelas, yaitu berpihak kepada kepentingan masyarakat.
Akhir-akhir ini, bolehlah kita sedikit optimis dengan hal tersebut. Banyak sekali organisasi kebudayaan yang dijalankan oleh anak-anak muda, yang menaruh perhatian pada penguatan berbagai kelompok masyarakat. Ini adalah perkembangan yang menggairahkan, sebagai tandingan atas kecenderungan umum untuk membicarakan dan mereduksi kebudayaan sebagai kesenian belaka. Dan celakanya pembicaraan tentangnya melulu ke masalah penafsiran serta kelindan estetika: wacana tak bertaji dan tak jelas guna sosialnya.
ANTARIKSA, peniliti pada KUNCI Cultural Studies Center.
PUTHUT EA, penulis cerita, anggota Akademi Kebudyaan Yogyakarta.