Realitas dan Kajian Media
Oleh Thomas Hanitzsch
Tujuan tulisan ini adalah untuk memberikan sumbangan pemikiran terhadap tulisan R. Kristiawan dan Nuraini Juliastuti yang dimuat di KUNCI (8, 2000). Berangkat dari memperdalam kritik terhadap kosep hegemoni saya akan merevisi kajian terhadap majalah remaja HAI.
R. Kristiawan sangat benar ketika mengkritik konsep hegemoni yang dikembangkan oleh Antonio Gramsci, karena wacana Gramsci ternyata tidak membantu untuk mengerti interdependensi (bukan dependensi!) kultural antara dunia Barat dan dunia Timur maupun antara dunia Utara dan Selatan. Proses globalisasi itu memang jauh lebih kompleks.
Gramsci menyimpulkan bahwa budaya Barat sangat dominan terhadap budaya di negara-negara berkembang, sehingga negara berkembang terpaksa mengadopsi budaya Barat. Dalam konteks pembangunanisme, konsep Gramsci memang sangat dekat dengan dasar pemikiran teori dependensi (Cardoso), termasuk imperialisme struktural (Johan Galtung) dan imperialisme kultural (Herbert Schiller).
Model-model pembangunan tersebut gagal karena empat faktor: pertama, proses diferensiasi di dunia ketiga sendiri, terutama kesuksesan ekonomi beberapa negara berkembang dengan menggunakan strategi yang berorientasi pada pasar dunia, justru menentang kesimpulan-kesimpulan utama teori hegemoni dan dependensi (Rullmann 1996). Kedua, teori-teori tersebut memanfaatkan sebuah perspektif global dan dengan demikian tidak menyadari adanya ketidakseimbangan sosial, struktur patrimonial dan eksploitasi di negara-negara berkembang sendiri (Servaes, 1995). Ketiga, teori hegemoni dan dependensi ternyata gagal dalam mengusulkan solusi-solusi yang bermanfaat dalam konteks global (ibid). Keempat, referensi historis yang mengarah kepada masa penjajahan dan hegemoni ekonomi global sebagai sebab kemacetan perkembangan di sebagian Dunia Ketiga harus dilihat sebagai hal yang sangat problematis. Perlu kita ingat bahwa Afghanistan misalnya, yang tidak pernah dijajah oleh negara Barat, sampai sekarang tetap tidak mampu berkembang, dilihat tidak hanya dari perspektif model demokrasi Barat.
Bahkan James D. Halloran, salah seorang penasehat komisi MacBride 20 tahun yang lalu, berpendapat bahwa riset terhadap perkembangan di Dunia Ketiga cenderung justru mempertajam ketergantungan negara-negara berkembang pada Barat. Lalu dia bertanya, apakah imperialisme kultural dan imperialisme media diikuti imperialisme penelitian? (Halloran, 1998). Saya pikir, tidak. Apa gunanya?
Persepsi tentang Antonio Gramsci oleh pakar sosiologi di dunia ketiga yang sangat positif itu barangkali terjadi karena mereka sering dengan mudah dan tidak kritis mengadopsi model dan teori sosiologi Barat yang sudah ketinggalan jaman seperti modernisme, dependensi dan hegemoni. Dengan demikian, tanggung jawab atas segala kegagalan di Dunia Ketiga bisa dilempar ke negara-negara maju.
Saya sangat setuju dengan yang ditulis R. Kristiawan bahwa media massa tidak merupakan ‘alat penguasa untuk menciptakan reproduksi ketaatan’ (KUNCI 8, 2000). Media massa sebenarnya tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan bagian dari masyarakat. Dalam bahasa teori sistem sosial yang terus menerus dikembangkan di Jerman, fungsi media massa adalah memungkinkan pengamatan diri masyarakat (Marcinkowski 1993). Fungsi media massa sebenarnya bukan ‘merekonstruksikan realitas sosial’, sebagaimana ditulis oleh Ana Nadhya Abrar, pakar jurnalistik di Universitas Gadjah Mada (Abrar 1997). Dengan kata lain, media massa merupakan cermin kebaikan dan keburukan masyarakat, bukan mencerminkan (dalam arti meng-copy) keadaan masyarakat. Media di Indonesia maupun di negara lain sama parahnya dengan keadaan masyarakat.
Tidak ada gunanya kalau kita terus bertanya, kenapa pemberitaan di media massa begitu parah? Menurut Niklas Luhmann, sosiolog Jerman, seharusnya kita bertanya, seberapa parah kondisi masyarakat kita sampai kita membutuhkan cermin media seperti itu? (Luhmann, 1996)
Dalam konteks ini, maka saya tidak sepenuhnya setuju dengan pengertian Nuraini Juliastuti terhadap media massa dalam kajiannya terhadap majalah remaja HAI. Dalam tulisannya "Majalah HAI dan 'Boyish Culture'" (KUNCI 8, 2000) ia hendak menjawab pertanyaan "bagaimana sistem operasi dari konstruksi budaya dan konstruksi sosial itu bekerja membentuk dominasi ideologi maskulinitas lewat media massa".
Pertama, pertanyaan tersebut tetap tidak terjawab. Akhirnya, bagaimana sistem itu sebenarnya beroperasi? Kedua, pertanyaan Nuraini Juliastuti tampaknya mengandung dua premis pernyataan yang belum terbukti, yaitu adanya arus informasi yang bersifat satu arah dan adanya dampak media massa yang cukup berarti terhadap publik.
Sebagian besar pakar cultural studies selama ini masih melihat konsumsi media massa sebagai proses penciptaan budaya yang berkaitan dengan kuasa (Ang 1999) dan mengandung bahaya hegemoni Barat (Hepp 1999). Walaupun demikian, suatu perubahan dalam pengertian cultural studies terhadap media massa sudah terlihat. Douglas Kellner misalnya menuntut pendekatan metateoretis dan multiperspektifis dalam menganalisis proses penyampaian pesan media (Kellner 1999).
Demikian juga pakar-pakar sosiologi yang memanfaatkan potensi teori sistem sosial pasca-Talcott Parsons. Proses penyampaian pesan dalam ilmu komunikasi kini dipandang sebagai proses yang dinamis dan transaksional. Artinya, khalayak juga aktif dalam proses tersebut. Publik tidak tinggal diam dan menerima pesan-pesan media massa begitu saja, melainkan paling tidak memilih pesan yang layak diterima. Sebaliknya, media juga sangat tergantung pada nilai-nilai kultural masyarakat pada umumnya.
Bila kita mau menyalahkan media massa atas perkembangan masyarakat yang tidak memuaskan itu, seharusnya kita membuktikan bahwa ada kenyataan murni yang bersifat universal (the truth out there), dan kita sebagai individu dapat mengamatinya dengan hasil yang sama. Akan tetapi, apa yang kita alami sebagai realitas itu hanya merupakan hasil konstruksi atau kognisi kita sendiri yang berdasarkan pengamatan atas realitas. Tentunya, ‘kenyataan’ Anda berbeda dengan ‘kenyataan’ saya walaupun kita mengamati realitas murni. Kesimpulan kita berbeda karena cara pengamatan yang dipakai tidak sama (Luhmann 1990).
Dengan demikian muncul pertanyaan, apakah layak bila kita sebagai ilmuwan menuntut media massa untuk mengkonstruksi realitas dengan cara pengamatan kita? Tentu tidak! Seorang peneliti mengamati realitas sosial dengan maksud mendapatkan kebenaran. Seorang wartawan mengamati realitas dengan maksud membuat berita yang relevan dan informatif buat pembacanya.
Walaupun demikian, kita sebagai peneliti tetap dapat meneliti dan terus mengkritik media massa. Akan tetapi, bila kita memanfaatkan pendekatan ontologis dan normatif dalam analisis media, maka posisi ilmu komunikasi atau sosiologi pada umumnya akan berada dalam posisi yang lemah. Kita perlu melihat media massa sebagai bagian dari masyarakat kita. Jangan kita bertanya seberapa parah pemberitaan di media massa kita masa kini. Melainkan bertanya, faktor-faktor apa yang memungkinkan penampakan media yang kurang memuaskan.
Thomas Hanitzsch
Peneliti Program S3 di Technische Universität Ilmenau, Jerman. Sekarang sedang melakukan penelitian tentang wartawan di Indonesia dan mengajar di Program Studi Ilmu Komunikasi, Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
Referensi
Abrar, Ana Nadhya (1997): Bila Fenomena Jurnalisme Direfleksikan, Jakarta.
Ang, Ien (1999): "Kultur und Kommunikation, Auf dem Weg zu einer ethnographischen Kritik des Medienkonsums in transnationalen Mediensystemen", in: Roger Bromley/Udo Göttlich/Carsten Winter (eds.): Cultural Studies, Grundlagentexte zur Einführung, Lüneburg, 317-340.
Cardoso, Fernando Henrique/Enzo Falletto (1979): Dependency and Development in Latin America, Berkeley.
Galtung, Johan (1971): "A Structural Theory of Imperialism", in: JOURNAL OF PEACE RESEARCH 8(1971)2, 81-117.
Halloran, James D. (1998): "Social Science, Communication Research and the Third World", in: MEDIA DEVELOPMENT (1998)2, 43-46.
Hepp, Andreas (1999): Cultural Studies und Medienanalyse, Eine Einführung, Opladen.
Kellner, Douglas (1999): "Medien- und Kommunikationsforschung von Cultural Studies, Wider ihre Trennung", in: Roger Bromley/Udo Göttlich/Carsten Winter (eds.): Cultural Studies, Grundlagentexte zur Einführung, Lüneburg, 341-363.
Luhmann, Niklas (1990): Soziologische Aufklärung 5, Konstruktivistische Perspektiven, Opladen.
Luhmann, Niklas (1996): Die Realität der Massenmedien, Opladen.
Frank Marcinkowski (1993): Publizistik als autopoietisches System, Politik und Massenmedien, Eine systemtheoretische Analyse, Opladen.
Talcott Parsons (1964[1951]): The Social System, New York/London.
Schiller, Herbert (1969): Mass Communication and American Empire, New York.
Kebudayaan Madzhab Negara
Oleh Mh Nurul Huda
Artikel yang sangat menarik dan berbobot ditulis oleh saudara Antariksa dan Puthut EA dengan judul “Kuasa Ekonomi Politik dan Kebudayaan Masyarakat” menanggapi tulisan saya di Kompas berjudul “Negara Perlu Mengurus Kebudayaan?”, dan dimuat kembali di KUNCI. Beberapa minggu lalu, seorang staf Litbang Departemen Kebudayaan dan Pariwista, Cecep Rukendi, juga menanggapi tulisan saya tersebut dengan judul “Pentingnya Negara Mengurusi Kebudayaan” (Sinar Harapan, 11/12/2004). Tulisan itu dibuat untuk menanggapi tulisan saya di harian Kompas mengenai keberatan dan skeptisisme saya terhadap intervensi negara yang ikut campur dalam mengatur persoalan kebudayaan.
Tulisan saya “Negara Perlu Mengurus Kebudayaan?” pertama-tama lahir karena hendak menggugat betapa besarnya cengkeraman negara dalam denyut nadi kehidupan masyarakat. Dengan gugatan itu saya yakin akan memperlonggar ruang perlawanan-perlawanan kultural masyarakat terhadap dominasi negara. Departemen Kebudayaan dan Pariwisata perlu digugat karena keberadaannya telah membuat kebudayaan sebagai arena resistensi kultural itu menjadi semakin sempit dan sesak. Dan keberatan saya ini sebenarnya sangat jelas terletak pada domain paradigmatik dan analisis terhadap implikasi praktis paradigma tersebut dalam seluruh kehidupan masyarakat. Inilah yang membedakan pandangan saya dengan pandangan saudara Cecep Rukendi yang tampak dalam pemaparan argumentasinya justru buru-buru melompat ke paparan yang serba normatif, dan oleh karena itu dangkal dan tampak mengalami kemiskinan analisis.
Dalam tulisan ini, saya akan memaparkan argumentasi paradigmatik yang bisa dipahami sebagai premis-premis dasar yang membangun seluruh posisi dan pendirian intelektual dan politis saya yang tentu saja akan berbeda dengan argumentasi-argumentasi praktis yang pernah saya ajukan dalam tulisan saya terdahulu. Tulisan ini juga sekaligus ingin mempertegas posisi saya terdahulu sekaligus sedikit mempertajam gagasan yang dilontarkan oleh saudara Antariksa dan Phutut EA di atas.
Paradigma Negara vs Kebudayaan
Dalam khazanah pemikiran politik dipahami bahwa negara adalah sebuah institusi politik yang keberadaannya dibentuk oleh suatu konsensus bersama masyarakat yang plural dan heterogen berdasarkan kepentingan warganya. Dan bukan sebaliknya negara yang membentuk dan menciptakan masyarakat. Konsekuensi dari pandangan pertama akan melahirkan suatu bentuk masyarakat yang demokratis di mana hak-hak kelompok masyarakat yang menjadi komunitas dalam negara tersebut dihargai dan dijamin eksistensinya; sementara pada pandangan yang kedua lazim berlaku dalam negara totalitarian di mana etatisme negara telah sampai ke arah penyeragaman dan pendisplinan terhadap kehidupan warganegara.
Embrio totalitarianisme selalu muncul dari kehendak negara untuk secara politis dan ideologis menguasai dan mengendalikan seluruh kehidupan masyarakat demi kepentingan penguasa, entah atas nama stabilitas keamanan, nasionalisme, patriotisme, harga diri bangsa, dan seterusnya. Pretensi seperti inilah yang pernah dimiliki oleh pemerintahan Nazi di Jerman dengan “menegarakan” semua urusan masyarakat, atau dengan kata lain “mentotalisasikan” gerak dan nadi kehidupan masyarakat ke dalam jaringan urat syaraf pusat kekuasaan negara tanpa menyisakan ruang sejengkalpun bagi kreatifitas dan kebebasan mereka. Semuanya berada dalam situasi under-control oleh negara.
Berbeda dengan model kekuasaan seperti itu, sebuah negara yang demokratis dan beradab akan menjamin keseimbangan antara entitas negara dan masyarakat. Dan untuk mencapai cita-cita tersebut negara seyogyanya mengurusi seminimal mungkin persoalan-persoalan kemasyarakatan dan membiarkan masyarakat sendiri mengembangkan kehidupan sosialnya secara manusiawi.
Dalam kehidupan sosial masyarakat inilah sesungguhnya hakikat kebudayaan bisa ditemukan. Ia adalah hasil interaksi sosial antara pribadi, individu-individu, dan kelompok-kelompok masyarakat dalam rangka merajut tatanan sosial bersama, membangun kehidupan yang emansipatoris dan mengusahakan agar tetap hidup survive. Dengan demikian, kebudayaan sebenarnya adalah kehidupan itu sendiri, tempat di mana semua persoalan dibicarakan dan didekati secara kultural. Kebudayaan lahir, berkembang dan semakin kaya dalam proses interaksi sosial manusiawi, tepat ketika kita meyakini bahwa kearifan masyarakat adalah titik fundamental menuju bangunan masyarakat yang manusiawi dan bermartabat.
Kebudayaan tidak berdiri di atas kekuasaan. Pendekatan politik terhadap kebudayaan justru akan melahirkan keputusan-keputusan dan kebijakan yang akultural (lugasnya bisa dibaca: tidak beradab) karena ia ditentukan oleh mekanisme kekuasaan yang justru menganggap kebudayaan sebagai konsep-konsep tunggal dan statis yang disusun di atas lembaran kertas dan menjadi agenda yang dijalankan berdasarkan sebuah program kerja beserta hitung-hitungan budgeting anggaran.
Negara dan Birokratisasi Kebudayaan
Salah satu konsekuensi kritis dari keterlibatan negara dalam rekayasa budaya akan menghasilkan apa yang kita sebut sebagai proses birokratisasi kebudayaan. Inilah yang tidak disadari oleh mereka yang biasa bekerja dalam sistem birokrasi karena mereka sendiri adalah bagian atau skrup dari sistem itu. Birokratisasi adalah model pengaturan, penataan, dan pengorganisasian secara rasional dan modern terhadap elemen politik maupun kultural masyarakat dengan tujuan meraih efisiensi dan produktifitas. Sistem birokrasi secara umum diterapkan dalam pengelolaan segala urusan kenegaraan agar bisa diselesaikan secara efisien sesuai dengan tujuan-tujuan pemerintahan. Karena itu pada hakikatnya birokrasi sesungguhnya tidak pernah netral, serta bebas nilai dan kepentingan. Justru sebaliknya proses birokratisasi penuh dengan nuansa rasionalitas instrumental guna mencapai tujuan tertentu secara tepat, terencana, dan efisien. Karena itu tidak salah bila Weber menyebut kehidupan birokrasi ini sebagai “iron cage”, sebuah penjara besi, yang memasung kehidupan manusia. Dalam birokrasi, pesona kehidupan menjadi hilang, musnah.
Bagaimana bila kebudayaan mengalami proses birokratisasi? Pada dirinya sendiri birokratisasi kebudayaan adalah contradictio in terminis. Birokratisasi adalah proses rekayasa untuk mencapai tujuan produktifitas dan efisiensi yang cenderung berorientasi politik instrumental, sementara kebudayaan berproses secara sosial dan kultural dalam kehidupan sehari-hari masyarakat yang senantiasa cair dan mengalir. Pendeknya kebudayaan selalu dalam proses “becoming” (menjadi), sedangkan birokratisasi cenderung meletakkan dan memaksakan entitas-entitas yang cair dan mengalir itu sebagai “being” (Ada) agar bisa dikerangkakan dalam sebuah kebijakan dan aturan yang mengikat. Atau dalam bahasa filsuf Jerman Martin Heidegger, birokratisasi kebudayaan adalah semacam “the way of revealing something as a standing reserve”, atau suatu bentuk “enframing” yang hendak mengkerangkakan kebudayaan sebagai sarana mengejar tujuan-tujuan dan kepentingan intrumentalis dan ideologis semata.
Di sini tentu saja pengerangkaan yang saya maksud adalah demi kepentingan dan rekayasa politik kekuasaan. Entah rekayasa ini masuk dan menjadi bagian dari hegemoni negara terhadap kehidupan warganegara, atau pola baru penyeragaman dan penaklukan terhadap resistensi kultural masyarakat sekaligus penyusupan kebijakan militerisme dalam ranah kultural, atau bahkan kecenderungan ekonomisasi kebudayaan. Bagian-bagian ini saling kait mengait dan berjalin kelindan dengan bagaimana kekuasaan negara membangun strategi dominasinya dalam kehidupan masyarakat secara “total”.
Ekonomisasi Kebudayaan
Kecenderungan ekonomisasi kebudayaan sebenarnya lahir dari apa yang disebut John B. Cobb, Jr. (seorang tokoh penerus Filsafat Proses) sebagai ekonomisasi politik. Artinya bahwa segala penyusunan kebijakan seringkali dibentuk oleh kepentingan-kepentingan ekonomi. Keuntungan ekonomilah yang men-drive dan mengendalikan kebijakan publik, kendati kebijakan tersebut harus mengorbankan orang lain. Meski memang biasanya faktor-faktor budaya, tradisi atau kepentingan religius memiliki peran dalam isu-isu publik, gejala mutakhir akhir-akhir ini menunjukkan bahwa kepentingan ekonomi memainkan peran determinan.
Dalam konteks inilah saya ingin kembali menegaskan bahwa asumsi para birokrat, dan para teknokrat yang bekerja untuk melayani birokrasi, yang menyatakan bahwa dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan meningkatkan prikehidupan kebudayaan adalah sesuatu yang naif dan omong kosong. Justru sebaliknya, apa yang terjadi sejak orde baru adalah ekonomisasi politik yang melahirkan kehancuran pada ranah kebudayaan. Pokok persoalannya justru terletak pada prinsip-prinsip ekonomi modern dan kekuasaan negara itu sendiri yang cenderung bersifat akultural (Herry Priyono menyebut kekuasaan ini sebagai sang “Leviathan”). Dalam arti ada proses pemaksaan dan penyeragaman yang dibangun atas nama pembangunanisme, modernisme, pertumbuhan ekonomi, stabilitas keamanan dan politik, stabilitas ekonomi (efisiensi dan produktifitas), dan seterusnya. Dalam hal ini cita-cita pembangunan jati diri bangsa dan kebudayaan nasional yang ditiupkan oleh kalangan birokrat dan penguasa tidak jauh dari hasrat dan kepentingan kekuasaan ini.
Dengan lugas bisa dikatakan, birokratisasi dan ekonomisasi kebudayaan sesungguhnya adalah representasi langsung perselingkuhan antara kepentingan modal dan kekuasaan. Sedang pecundangnya adalah komunitas subaltern (baca: komunitas marginal) dan masyarakat bawah sebagai pemilik kebudayaan itu sendiri. Inilah sisi gelap ideologi “kebudayaan madzhab negara” yang disokong para teknokrat kebudayaan kita.
MH NURUL HUDA, Peneliti kebudayaan pada Desantara Institute for Cultural Studies. Mahasiswa STF Driyarkara, Jakarta.
Perlukah Negara Perlu Mengurus Kebudayaan?
Oleh Mh Nurul Huda
URUSAN kebudayaan akhirnya diserahkan pada departemen khusus. Meski demikian, pertanyaan mendasar tetap perlu dikemukakan. Perlukah negara mengatur kebudayaan? Jika penting, masalahnya penting bagi siapa?
Persoalan ini mendesak diperbincangkan karena masalah kebudayaan terkait dengan kehidupan berbangsa dan bernegara. Masalah kebudayaan menyangkut pengalaman dan penghayatan masyarakat terhadap lingkungan sekitar, terutama terhadap hidupnya.
Sebagai cakrawala pengalaman hidup, masyarakat memiliki kebebasan menghayati cara dan pandangan hidupnya tanpa harus diintervensi, diatur, atau dipaksa siapa pun, termasuk negara. Bila itu terjadi, risikonya bisa fatal.
Pengalaman rezim Orde Baru memberi pelajaran pahit, betapa kebudayaan menjadi instrumen dalam skenario nasional untuk menundukkan rakyat, dan menjadikan mereka individu-individu yang patuh, tanpa energi kritis. Hal ini bisa dilihat, misalnya, lewat kebijakan bersemboyan "budaya nasional sebagai puncak budaya-budaya daerah" atau penanaman ideologi negara keluarga ala Orba.
Contoh pertama memuat kepentingan pemerintah saat itu untuk menyeleksi berbagai macam kebudayaan yang dianut masyarakat yang bisa dianggap menjadi modal "pembangunan". Budaya yang dianggap tak menyokong "pembangunan" dan mendukung "stabilitas nasional" berarti terbelakang, dianggap tak berbudaya (uncivilized). Karena itu, harus dieliminasi. Biasanya budaya semacam itu diperlawankan dengan budaya-budaya yang dianggap lebih membawa unsur kemajuan, "beradab", dan modern.
Secara ideologis, Orba menanamkan kekuasaan melalui pencitraan keluarga Indonesia yang harmonis dan patuh. Melalui manipulasi pencitraan, Orba memerintah negara dan membentuk bangsa bak keluarga harmonis. (Mengenai citra keluarga dalam politik Orba lihat S Shiraishi, Pahlawan-pahlawan Belia, 2001). Dalam perjalanannya, dua "diskursus" strategi budaya versi negara ternyata amat berorientasi harmoni dan totalitarian serta menyembunyikan maksud penyeragaman dan penaklukan.
DALAM diskursus kebudayaan belum pernah ditemukan definisi yang mapan mengenai apa itu kebudayaan. Memang para filsuf, antropolog, sosiolog, dan ilmuwan disiplin lain memberi definisi berbeda-beda. Perbedaan ini menunjukkan, tiap pendefinisian terhadap kebudayaan selalu bersifat perspektivis dan parsial. Maka, makna kebudayaan tak pernah benar-benar netral. Karena itu, selalu bersifat dinamis, bisa dipertukarkan dengan budaya kelompok lain yang berbeda dan tak pernah stabil karena selalu tergantung pada penghayatan serta pengalaman hidup individu dan masyarakat yang pada dasarnya selalu berubah.
Bila definisi minimalis terpaksa diberikan, meski mereduksi makna kebudayaan, misalnya budaya sebagai kepercayaan, nilai-nilai, norma, sentimen, dan praktik-praktik yang memberi makna dan nilai pada kehidupan manusia, siapa yang berhak dan berkompeten secara moral dan epistemologi menafsirkan kebudayaan? Pemerintah atau negara tertentu yang dianggap merepresentasikan rakyat atau bangsanya?
Jawabannya jelas, hanya pemilik dan penghayat nilai-nilai dan praktik kebudayaan itulah yang paling berkompeten menafsirkan. Karena mereka yang mencipta, mengalami, menghayati, dan menghidupi praktik-praktik budayanya. Karena itu, pemerintah atau negara tak berwenang menafsirkan budaya rakyatnya. Pendapat ini didasarkan tiga hal.
Pertama, secara teoritis elite pemerintah atau negara tidak memiliki kapasitas dan kompetensi memahami kebudayaan rakyatnya yang beragam. Kedua, secara empiris para elite umumnya tak memiliki kepedulian, sebaliknya justru merusak kekayaan budaya masyarakat. Hal ini tampak dalam kebijakan kebudayaan Orba dengan memperlakukan secara diskriminatif keberadaan agama dan kepercayaan yang berbeda-beda dalam masyarakat. Ketiga, model negara Leviathan Hobbes, yang menjadi impian para pemimpin totaliter dan biasanya diulang- ulang sebagai dasar negara kedaulatan yang berpretensi menghapus konflik dan memelihara perdamaian, kini sudah dianggap usang karena model ini tak mampu mengakomodasi keragaman kebudayaan dan perbedaan pandangan dalam negara yang plural dan heterogen.
Dalam teori politik modern, negara yang baik dan efektif adalah yang mampu mengurusi seminimal mungkin aneka masalah kemasyarakatan. Karena itu, pemerintah yang selalu bertendensi mengatasnamakan rakyat dan hendak mengurusi semua urusan masyarakat justru harus diwaspadai sebagai upaya mengintervensi kehidupan kultural masyarakat. Kapan rakyat bisa berbicara atas nama sendiri bila representasi kehidupan kulturalnya diambil alih negara?
DENGAN adanya departemen kebudayaan dalam susunan kabinet, sebenarnya menunjukkan, pemerintah masih menggunakan cara-cara dan paradigma Orba dalam manajemen politiknya. Bukan hanya kekhawatiran soal munculnya militerisme, tetapi juga kembalinya pandangan tradisional yang menganggap negara menjadi semacam panasea atau institusi politik yang berpretensi menyelesaikan segala persoalan dan semua urusan masyarakat.
Hal ini akan melahirkan bencana dan risiko politik. Pertama, ini membuat ruang kreatif masyarakat untuk mendiskusikan dan menyelesaikan aneka persoalannya kian sempit. Mekanisme dialog antarmasyarakat akan sarat diwarnai formalisme dan berkurangnya inisiatif masyarakat akibat pendekatan politik yang top-down.
Kedua, munculnya departemen kebudayaan akan menjadi semacam "kuda troya" bagi masuknya ragam kepentingan politik untuk menaklukkan dan melumpuhkan kembali daya- daya kultural masyarakat yang plural. Karena, kebudayaan tak pernah netral, departemen ini akan jadi persaingan dominasi kepentingan dan wacana berbagai kelompok yang mungkin akan menentukan arah kebijakan kebudayaan mendatang.
Ketiga, karena departemen kebudayaan adalah hasil representasi budaya yang diproduksi negara, besar kemungkinan terjadi misrepresentasi atas nilai, sentimen, praktik, dan tuntutan masyarakat atas aspirasi budayanya. Akibatnya, apa yang dibayangkan sebagai jati diri atau nilai budaya bangsa bisa jadi hanya manipulasi kepentingan penguasa. Sebagaimana klaim "nilai-nilai ketimuran", "nilai- nilai Asia", atau "nilai-nilai budaya nasional" yang selama ini digunakan elite penguasa sebagai pembenaran pelanggaran prinsip-prinsip demokrasi dan hak-hak politik masyarakat.
Berbagai persoalan itu adalah risiko ketika negara ditempatkan di atas segala-galanya dengan terlalu banyak mengurusi masalah masyarakat. Masalah ini akan menjadi bencana bila kita terlalu pasrah bongkokan tanpa sikap kritis terhadap kebijakan pemerintah yang telah dipilih secara demokratis ini.
MH NURUL HUDA, Peneliti pada Desantara Institute for Cultural Studies. Kini Anggota PKC PMII Jakarta.
Artikel ini dimuat di KOMPAS, Sabtu, 27 November 2004
Kuasa Ekonomi Politik dan Kebudayaan Masyarakat
Oleh Antariksa dan Puthut EA.
Berdasarkan referensi langgam kebijakan negara Orde Baru (Orba), Mh Nurul Huda mengkhawatirkan semakin mandulnya kebudayaan masyarakat karena diurus oleh negara (Kompas, 27/11). Urusan kebudayaan adalah urusan para pemilik, penghayat nilai-nilai dan praktik kebudayaan, yaitu masyarakat. Pertanyaan pentingnya adalah benarkah ancaman terhadap mandulnya kebudayaan masyarakat semata-mata datang dari sebuah institusi yang bernama negara? Dan lalu bagaimanakah posisi sesungguhnya negara dalam hal ini?
Ada sekian banyak alasan yang dikemukakan Nurul Huda untuk mendasari kesimpulan bahwa negara tidak perlu mengurus masalah kebudayaan. Salah satunya karena ia percaya pada teori politik modern bahwa negara yang baik dan efektif adalah yang mampu mengurusi seminimal mungkin aneka masalah kemasyarakatan. Selain itu, ia juga melihat setidaknya ada tiga alasan lain. Pertama, negara—yang dalam hal ini adalah elit politik—tidak mempunyai kompetensi dan kapasitas untuk memahami kebudayaan masyarakatnya yang beragam. Kedua, justru sebaliknya, negara bahkan merusak kebudayaan rakyatnya. Dan ketiga, model negara Leviathan tidak mampu mengakomodasi keragaman kebudayaan dan perbedaan pandangan dalam negara yang majemuk.
Sejauh menyangkut ancaman negara terhadap kebudayaan masyarakat, Nurul Huda telah melakukan pemetaan masalah dengan tepat. Tetapi ia lupa, bahwa ancaman terhadap kebudayaan masyarakat tidak hanya datang dari negara (kuasa politik). Ancaman yang tidak kalah bahayanya—atau malah jauh lebih berbahaya—justru datang dari ‘dunia modal’ (kuasa ekonomi). Pada titik persinggungan antara modal, negara, dan masyarakat, maka kita mesti lebih cermat memetakan peran negara—setidaknya perannya sebagai mesin regulasi yang penting.
Proses rontoknya kebudayaan masyarakat yang menyangkut kepentingan fundamental mereka justru terjadi karena perselingkuhan kuasa ekonomi dengan kuasa politik, antara modal dengan negara. Alih-alih melindungi dan mengakomodasi hak-hak ekonomi, sosial dan kebudayaan masyarakat, negara telah hampir berperan sempurna sebagai agen yang mengakomodasi kepentingan-kepentingan modal semata. Dari catatan sejarah kita bisa melihat bagaimana, misalnya, budaya tanah dan pertanian tradisional dirontokkan oleh kebijakan tanam paksa pemerintah kolonial Hindia Belanda dan kebijakan intensifikasi pertanian (Revolusi Hijau) Orba, budaya pengelolaan hutan tradisonal rontok oleh kebijakan HPH (Hak Penebangan Hutan), atau juga bagaimana kesenian tradisi dijinakkan menjadi sekedar hiburan untuk kepentingan pariwisata.
Paham bahwa negara adalah institusi yang netral telah lama kehilangan dasar alasannya. Pertama, karena memang seharusnya negara memperjuangkan kepentingan-kepentingan masyarakatnya. Dan kedua, karena pada praktiknya kita bisa melihat dengan gamblang bahwa banyak kepentingan yang bisa bermain dalam tubuh negara, baik penguasa modal ekonomi lokal maupun modal ekonomi internasional.
Tetapi pertemuan negara—yang merupakan representasi elit politik dan kekuatan modal ekonomi nasional—dengan modal internasional memang tidak selalu berjalan mulus. Dalam Peristiwa Mei 1998 (Reformasi) misalnya, restrukturisasi modal besar-besaran yang terjadi pada 1965, sekalipun ada hambatan dan riak kecil pada 1978, mendapatkan momentumnya pada 1998. Modal ekonomi internasional sudah tidak lagi bisa mengakomodasi ekonomi kroni Orba yang memakan banyak ongkos produksi, memunculkan keresahan sosial, yang pada gilirannya akan membahayakan dan merusak struktur modal mereka. Kepentingan modal ekonomi internasional itu kemudian bertemu dengan kekuatan rakyat yang bermotif perlawanan dan perbaikan ekonomi-politik.
Lalu bagaimana peta kekuasaan negara pascareformasi? Serta bagaimana kelanjutan peta konflik antara kekuatan modal dan kekuatan rakyat di tubuh negara?
Reformasi, seperti dikemukakan secara ringkas di atas, adalah pertemuan sementara antara kepentingan modal ekonomi internasional dengan daya rakyat melawan penindasnya. Oleh karena itu, langgam-langgam kebijakan reformasi kental dengan kebijakan kompromis. Pemilu multipartai, pemilihan presiden langsung, desentralisasi kekuasaan, dan banyak lagi yang lain, sesungguhnya adalah medan yang di dalamnya terjadi perebutan kepentingan terus-menerus antara kekuatan modal dan kepentingan masyarakat. Kebijakan-kebijakan tersebut bisa menguntungkan masyarakat sekaligus bisa membuka potensi yang besar bagi pemilik modal untuk semakin berkuasa. Masyarakat mempunyai peluang yang besar untuk memainkan bandul reformasi ini sesuai dengan kepentingan kelompok, sektor, maupun kepentingan wilayah mereka. Sedangkan penguasa modal ekonomi juga mempunyai potensi untuk bermain sampai tingkat yang paling kecil dan mendasar tanpa harus melewati birokrasi negara yang terpusat seperti di era Orba.
Bagaimanapun juga, kekuatan-kekuatan tersebut haruslah melewati institusi negara sebagai mesin birokrasi. Kekuatan masyarakat perlu meminjam atau memanfaatkan tangan negara untuk memperkuat perjuangannya, dan penguasa modal ekonomi memerlukan birokrasi negara agar bisa mengeluarkan kebijakan-kebijakan ramah modal. Di wilayah seperti inilah, maka peran negara mesti dilihat secara jeli. Karena tanpa peran negara, kebencian dan trauma masyarakat terhadap negara otoriter Orba, bisa jadi justru akan menikam balik mereka. Lepasnya masyarakat dari otoritarianisme negara, bukan berarti lepasnya masyarakat dari belenggu yang lain. Jika tidak berhati-hati, masyarakat memang bisa lepas dari mulut singa negara, tetapi masuk ke mulut buaya modal. Privatisasi BUMN, swastanisasi lembaga-lembaga pendidikan, dikuasainya hajat hidup masyarakat dalam hal tanah, air, dan sumber-sumber daya alam yang lain, adalah salah satu contoh masuknya masyarakat kita ke dalam mulut buaya modal.
Dengan peta masalah seperti di atas, menurut hemat kami justru negara harus tetap memainkan perannya, tetapi secara proporsional, dan di sisi yang lain masyarakat juga harus bersiasat memanfaatkan peran negara. Kebijakan-kebijakan yang membahayakan kebudayaan dan kepentingan masyarakat dari ancaman modal ekonomi besar haruslah lebih dulu dihadang oleh negara.
Apa yang kita alami sekarang memang masih menyisakan tanda tanya besar. Sebagai contoh, kalau dulu di era Orba kebudayaan disandingkan dengan pendidikan dalam Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, maka sekarang perubahannya tidak semakin baik karena kebudayaan diurus oleh Departemen Pariwisata dan Kebudayaan. Terlepas dari politik kebudayaannya yang masih sentralistis—seperti telah disinggung Nurul Huda—penyandingan kebudayaan dengan pariwisata jelas-jelas memerlihatkan dua hal. Pertama, hal ini merupakan upaya mengkomoditaskan kebudayaan. Dan kedua, hal ini masih melanjutkan “tradisi lama” mereduksi kebudayaan menjadi sekadar kesenian yang steril dan tak ada sangkut-pautnya dengan soal-soal ekonomi politik.
Kerja kebudayaan dalam tubuh negara seharusnya menjadi urusan semua departemen. Karena kerja kebudayaan tidak akan pernah bisa lepas dari kerja ekonomi politik. Misalnya, memudarnya kesenian tradisi dan kebijaksanaan lokal, bukanlah semata-mata soal kesenian yang menjadi tanggungjawab sebuah departemen khusus, melainkan hal itu berkaitan dengan masalah kebijakan pendidikan nasional, kebijakan tentang muatan lokal dalam siaran televisi, kebijakan otonomi daerah, kebijakan tentang investasi modal asing, dan sebagainya. Dengan demikian, kalaupun kerja kebudayaan dilakukan oleh sebuah departemen khusus, maka sifat kerjanya adalah lintas-departemen. Atau tidak perlu ada satu departemen khusus, namun pada masing-masing departemen ada sebuah divisi kebudayaan. Dengan catatan, kedua model tersebut harus mempunyai sikap kebudayaan yang jelas, yaitu berpihak kepada kepentingan masyarakat.
Oleh Thomas Hanitzsch
Tujuan tulisan ini adalah untuk memberikan sumbangan pemikiran terhadap tulisan R. Kristiawan dan Nuraini Juliastuti yang dimuat di KUNCI (8, 2000). Berangkat dari memperdalam kritik terhadap kosep hegemoni saya akan merevisi kajian terhadap majalah remaja HAI.
R. Kristiawan sangat benar ketika mengkritik konsep hegemoni yang dikembangkan oleh Antonio Gramsci, karena wacana Gramsci ternyata tidak membantu untuk mengerti interdependensi (bukan dependensi!) kultural antara dunia Barat dan dunia Timur maupun antara dunia Utara dan Selatan. Proses globalisasi itu memang jauh lebih kompleks.
Gramsci menyimpulkan bahwa budaya Barat sangat dominan terhadap budaya di negara-negara berkembang, sehingga negara berkembang terpaksa mengadopsi budaya Barat. Dalam konteks pembangunanisme, konsep Gramsci memang sangat dekat dengan dasar pemikiran teori dependensi (Cardoso), termasuk imperialisme struktural (Johan Galtung) dan imperialisme kultural (Herbert Schiller).
Model-model pembangunan tersebut gagal karena empat faktor: pertama, proses diferensiasi di dunia ketiga sendiri, terutama kesuksesan ekonomi beberapa negara berkembang dengan menggunakan strategi yang berorientasi pada pasar dunia, justru menentang kesimpulan-kesimpulan utama teori hegemoni dan dependensi (Rullmann 1996). Kedua, teori-teori tersebut memanfaatkan sebuah perspektif global dan dengan demikian tidak menyadari adanya ketidakseimbangan sosial, struktur patrimonial dan eksploitasi di negara-negara berkembang sendiri (Servaes, 1995). Ketiga, teori hegemoni dan dependensi ternyata gagal dalam mengusulkan solusi-solusi yang bermanfaat dalam konteks global (ibid). Keempat, referensi historis yang mengarah kepada masa penjajahan dan hegemoni ekonomi global sebagai sebab kemacetan perkembangan di sebagian Dunia Ketiga harus dilihat sebagai hal yang sangat problematis. Perlu kita ingat bahwa Afghanistan misalnya, yang tidak pernah dijajah oleh negara Barat, sampai sekarang tetap tidak mampu berkembang, dilihat tidak hanya dari perspektif model demokrasi Barat.
Bahkan James D. Halloran, salah seorang penasehat komisi MacBride 20 tahun yang lalu, berpendapat bahwa riset terhadap perkembangan di Dunia Ketiga cenderung justru mempertajam ketergantungan negara-negara berkembang pada Barat. Lalu dia bertanya, apakah imperialisme kultural dan imperialisme media diikuti imperialisme penelitian? (Halloran, 1998). Saya pikir, tidak. Apa gunanya?
Persepsi tentang Antonio Gramsci oleh pakar sosiologi di dunia ketiga yang sangat positif itu barangkali terjadi karena mereka sering dengan mudah dan tidak kritis mengadopsi model dan teori sosiologi Barat yang sudah ketinggalan jaman seperti modernisme, dependensi dan hegemoni. Dengan demikian, tanggung jawab atas segala kegagalan di Dunia Ketiga bisa dilempar ke negara-negara maju.
Saya sangat setuju dengan yang ditulis R. Kristiawan bahwa media massa tidak merupakan ‘alat penguasa untuk menciptakan reproduksi ketaatan’ (KUNCI 8, 2000). Media massa sebenarnya tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan bagian dari masyarakat. Dalam bahasa teori sistem sosial yang terus menerus dikembangkan di Jerman, fungsi media massa adalah memungkinkan pengamatan diri masyarakat (Marcinkowski 1993). Fungsi media massa sebenarnya bukan ‘merekonstruksikan realitas sosial’, sebagaimana ditulis oleh Ana Nadhya Abrar, pakar jurnalistik di Universitas Gadjah Mada (Abrar 1997). Dengan kata lain, media massa merupakan cermin kebaikan dan keburukan masyarakat, bukan mencerminkan (dalam arti meng-copy) keadaan masyarakat. Media di Indonesia maupun di negara lain sama parahnya dengan keadaan masyarakat.
Tidak ada gunanya kalau kita terus bertanya, kenapa pemberitaan di media massa begitu parah? Menurut Niklas Luhmann, sosiolog Jerman, seharusnya kita bertanya, seberapa parah kondisi masyarakat kita sampai kita membutuhkan cermin media seperti itu? (Luhmann, 1996)
Dalam konteks ini, maka saya tidak sepenuhnya setuju dengan pengertian Nuraini Juliastuti terhadap media massa dalam kajiannya terhadap majalah remaja HAI. Dalam tulisannya "Majalah HAI dan 'Boyish Culture'" (KUNCI 8, 2000) ia hendak menjawab pertanyaan "bagaimana sistem operasi dari konstruksi budaya dan konstruksi sosial itu bekerja membentuk dominasi ideologi maskulinitas lewat media massa".
Pertama, pertanyaan tersebut tetap tidak terjawab. Akhirnya, bagaimana sistem itu sebenarnya beroperasi? Kedua, pertanyaan Nuraini Juliastuti tampaknya mengandung dua premis pernyataan yang belum terbukti, yaitu adanya arus informasi yang bersifat satu arah dan adanya dampak media massa yang cukup berarti terhadap publik.
Sebagian besar pakar cultural studies selama ini masih melihat konsumsi media massa sebagai proses penciptaan budaya yang berkaitan dengan kuasa (Ang 1999) dan mengandung bahaya hegemoni Barat (Hepp 1999). Walaupun demikian, suatu perubahan dalam pengertian cultural studies terhadap media massa sudah terlihat. Douglas Kellner misalnya menuntut pendekatan metateoretis dan multiperspektifis dalam menganalisis proses penyampaian pesan media (Kellner 1999).
Demikian juga pakar-pakar sosiologi yang memanfaatkan potensi teori sistem sosial pasca-Talcott Parsons. Proses penyampaian pesan dalam ilmu komunikasi kini dipandang sebagai proses yang dinamis dan transaksional. Artinya, khalayak juga aktif dalam proses tersebut. Publik tidak tinggal diam dan menerima pesan-pesan media massa begitu saja, melainkan paling tidak memilih pesan yang layak diterima. Sebaliknya, media juga sangat tergantung pada nilai-nilai kultural masyarakat pada umumnya.
Bila kita mau menyalahkan media massa atas perkembangan masyarakat yang tidak memuaskan itu, seharusnya kita membuktikan bahwa ada kenyataan murni yang bersifat universal (the truth out there), dan kita sebagai individu dapat mengamatinya dengan hasil yang sama. Akan tetapi, apa yang kita alami sebagai realitas itu hanya merupakan hasil konstruksi atau kognisi kita sendiri yang berdasarkan pengamatan atas realitas. Tentunya, ‘kenyataan’ Anda berbeda dengan ‘kenyataan’ saya walaupun kita mengamati realitas murni. Kesimpulan kita berbeda karena cara pengamatan yang dipakai tidak sama (Luhmann 1990).
Dengan demikian muncul pertanyaan, apakah layak bila kita sebagai ilmuwan menuntut media massa untuk mengkonstruksi realitas dengan cara pengamatan kita? Tentu tidak! Seorang peneliti mengamati realitas sosial dengan maksud mendapatkan kebenaran. Seorang wartawan mengamati realitas dengan maksud membuat berita yang relevan dan informatif buat pembacanya.
Walaupun demikian, kita sebagai peneliti tetap dapat meneliti dan terus mengkritik media massa. Akan tetapi, bila kita memanfaatkan pendekatan ontologis dan normatif dalam analisis media, maka posisi ilmu komunikasi atau sosiologi pada umumnya akan berada dalam posisi yang lemah. Kita perlu melihat media massa sebagai bagian dari masyarakat kita. Jangan kita bertanya seberapa parah pemberitaan di media massa kita masa kini. Melainkan bertanya, faktor-faktor apa yang memungkinkan penampakan media yang kurang memuaskan.
Thomas Hanitzsch
Peneliti Program S3 di Technische Universität Ilmenau, Jerman. Sekarang sedang melakukan penelitian tentang wartawan di Indonesia dan mengajar di Program Studi Ilmu Komunikasi, Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
Referensi
Abrar, Ana Nadhya (1997): Bila Fenomena Jurnalisme Direfleksikan, Jakarta.
Ang, Ien (1999): "Kultur und Kommunikation, Auf dem Weg zu einer ethnographischen Kritik des Medienkonsums in transnationalen Mediensystemen", in: Roger Bromley/Udo Göttlich/Carsten Winter (eds.): Cultural Studies, Grundlagentexte zur Einführung, Lüneburg, 317-340.
Cardoso, Fernando Henrique/Enzo Falletto (1979): Dependency and Development in Latin America, Berkeley.
Galtung, Johan (1971): "A Structural Theory of Imperialism", in: JOURNAL OF PEACE RESEARCH 8(1971)2, 81-117.
Halloran, James D. (1998): "Social Science, Communication Research and the Third World", in: MEDIA DEVELOPMENT (1998)2, 43-46.
Hepp, Andreas (1999): Cultural Studies und Medienanalyse, Eine Einführung, Opladen.
Kellner, Douglas (1999): "Medien- und Kommunikationsforschung von Cultural Studies, Wider ihre Trennung", in: Roger Bromley/Udo Göttlich/Carsten Winter (eds.): Cultural Studies, Grundlagentexte zur Einführung, Lüneburg, 341-363.
Luhmann, Niklas (1990): Soziologische Aufklärung 5, Konstruktivistische Perspektiven, Opladen.
Luhmann, Niklas (1996): Die Realität der Massenmedien, Opladen.
Frank Marcinkowski (1993): Publizistik als autopoietisches System, Politik und Massenmedien, Eine systemtheoretische Analyse, Opladen.
Talcott Parsons (1964[1951]): The Social System, New York/London.
Schiller, Herbert (1969): Mass Communication and American Empire, New York.
Kebudayaan Madzhab Negara
Oleh Mh Nurul Huda
Artikel yang sangat menarik dan berbobot ditulis oleh saudara Antariksa dan Puthut EA dengan judul “Kuasa Ekonomi Politik dan Kebudayaan Masyarakat” menanggapi tulisan saya di Kompas berjudul “Negara Perlu Mengurus Kebudayaan?”, dan dimuat kembali di KUNCI. Beberapa minggu lalu, seorang staf Litbang Departemen Kebudayaan dan Pariwista, Cecep Rukendi, juga menanggapi tulisan saya tersebut dengan judul “Pentingnya Negara Mengurusi Kebudayaan” (Sinar Harapan, 11/12/2004). Tulisan itu dibuat untuk menanggapi tulisan saya di harian Kompas mengenai keberatan dan skeptisisme saya terhadap intervensi negara yang ikut campur dalam mengatur persoalan kebudayaan.
Tulisan saya “Negara Perlu Mengurus Kebudayaan?” pertama-tama lahir karena hendak menggugat betapa besarnya cengkeraman negara dalam denyut nadi kehidupan masyarakat. Dengan gugatan itu saya yakin akan memperlonggar ruang perlawanan-perlawanan kultural masyarakat terhadap dominasi negara. Departemen Kebudayaan dan Pariwisata perlu digugat karena keberadaannya telah membuat kebudayaan sebagai arena resistensi kultural itu menjadi semakin sempit dan sesak. Dan keberatan saya ini sebenarnya sangat jelas terletak pada domain paradigmatik dan analisis terhadap implikasi praktis paradigma tersebut dalam seluruh kehidupan masyarakat. Inilah yang membedakan pandangan saya dengan pandangan saudara Cecep Rukendi yang tampak dalam pemaparan argumentasinya justru buru-buru melompat ke paparan yang serba normatif, dan oleh karena itu dangkal dan tampak mengalami kemiskinan analisis.
Dalam tulisan ini, saya akan memaparkan argumentasi paradigmatik yang bisa dipahami sebagai premis-premis dasar yang membangun seluruh posisi dan pendirian intelektual dan politis saya yang tentu saja akan berbeda dengan argumentasi-argumentasi praktis yang pernah saya ajukan dalam tulisan saya terdahulu. Tulisan ini juga sekaligus ingin mempertegas posisi saya terdahulu sekaligus sedikit mempertajam gagasan yang dilontarkan oleh saudara Antariksa dan Phutut EA di atas.
Paradigma Negara vs Kebudayaan
Dalam khazanah pemikiran politik dipahami bahwa negara adalah sebuah institusi politik yang keberadaannya dibentuk oleh suatu konsensus bersama masyarakat yang plural dan heterogen berdasarkan kepentingan warganya. Dan bukan sebaliknya negara yang membentuk dan menciptakan masyarakat. Konsekuensi dari pandangan pertama akan melahirkan suatu bentuk masyarakat yang demokratis di mana hak-hak kelompok masyarakat yang menjadi komunitas dalam negara tersebut dihargai dan dijamin eksistensinya; sementara pada pandangan yang kedua lazim berlaku dalam negara totalitarian di mana etatisme negara telah sampai ke arah penyeragaman dan pendisplinan terhadap kehidupan warganegara.
Embrio totalitarianisme selalu muncul dari kehendak negara untuk secara politis dan ideologis menguasai dan mengendalikan seluruh kehidupan masyarakat demi kepentingan penguasa, entah atas nama stabilitas keamanan, nasionalisme, patriotisme, harga diri bangsa, dan seterusnya. Pretensi seperti inilah yang pernah dimiliki oleh pemerintahan Nazi di Jerman dengan “menegarakan” semua urusan masyarakat, atau dengan kata lain “mentotalisasikan” gerak dan nadi kehidupan masyarakat ke dalam jaringan urat syaraf pusat kekuasaan negara tanpa menyisakan ruang sejengkalpun bagi kreatifitas dan kebebasan mereka. Semuanya berada dalam situasi under-control oleh negara.
Berbeda dengan model kekuasaan seperti itu, sebuah negara yang demokratis dan beradab akan menjamin keseimbangan antara entitas negara dan masyarakat. Dan untuk mencapai cita-cita tersebut negara seyogyanya mengurusi seminimal mungkin persoalan-persoalan kemasyarakatan dan membiarkan masyarakat sendiri mengembangkan kehidupan sosialnya secara manusiawi.
Dalam kehidupan sosial masyarakat inilah sesungguhnya hakikat kebudayaan bisa ditemukan. Ia adalah hasil interaksi sosial antara pribadi, individu-individu, dan kelompok-kelompok masyarakat dalam rangka merajut tatanan sosial bersama, membangun kehidupan yang emansipatoris dan mengusahakan agar tetap hidup survive. Dengan demikian, kebudayaan sebenarnya adalah kehidupan itu sendiri, tempat di mana semua persoalan dibicarakan dan didekati secara kultural. Kebudayaan lahir, berkembang dan semakin kaya dalam proses interaksi sosial manusiawi, tepat ketika kita meyakini bahwa kearifan masyarakat adalah titik fundamental menuju bangunan masyarakat yang manusiawi dan bermartabat.
Kebudayaan tidak berdiri di atas kekuasaan. Pendekatan politik terhadap kebudayaan justru akan melahirkan keputusan-keputusan dan kebijakan yang akultural (lugasnya bisa dibaca: tidak beradab) karena ia ditentukan oleh mekanisme kekuasaan yang justru menganggap kebudayaan sebagai konsep-konsep tunggal dan statis yang disusun di atas lembaran kertas dan menjadi agenda yang dijalankan berdasarkan sebuah program kerja beserta hitung-hitungan budgeting anggaran.
Negara dan Birokratisasi Kebudayaan
Salah satu konsekuensi kritis dari keterlibatan negara dalam rekayasa budaya akan menghasilkan apa yang kita sebut sebagai proses birokratisasi kebudayaan. Inilah yang tidak disadari oleh mereka yang biasa bekerja dalam sistem birokrasi karena mereka sendiri adalah bagian atau skrup dari sistem itu. Birokratisasi adalah model pengaturan, penataan, dan pengorganisasian secara rasional dan modern terhadap elemen politik maupun kultural masyarakat dengan tujuan meraih efisiensi dan produktifitas. Sistem birokrasi secara umum diterapkan dalam pengelolaan segala urusan kenegaraan agar bisa diselesaikan secara efisien sesuai dengan tujuan-tujuan pemerintahan. Karena itu pada hakikatnya birokrasi sesungguhnya tidak pernah netral, serta bebas nilai dan kepentingan. Justru sebaliknya proses birokratisasi penuh dengan nuansa rasionalitas instrumental guna mencapai tujuan tertentu secara tepat, terencana, dan efisien. Karena itu tidak salah bila Weber menyebut kehidupan birokrasi ini sebagai “iron cage”, sebuah penjara besi, yang memasung kehidupan manusia. Dalam birokrasi, pesona kehidupan menjadi hilang, musnah.
Bagaimana bila kebudayaan mengalami proses birokratisasi? Pada dirinya sendiri birokratisasi kebudayaan adalah contradictio in terminis. Birokratisasi adalah proses rekayasa untuk mencapai tujuan produktifitas dan efisiensi yang cenderung berorientasi politik instrumental, sementara kebudayaan berproses secara sosial dan kultural dalam kehidupan sehari-hari masyarakat yang senantiasa cair dan mengalir. Pendeknya kebudayaan selalu dalam proses “becoming” (menjadi), sedangkan birokratisasi cenderung meletakkan dan memaksakan entitas-entitas yang cair dan mengalir itu sebagai “being” (Ada) agar bisa dikerangkakan dalam sebuah kebijakan dan aturan yang mengikat. Atau dalam bahasa filsuf Jerman Martin Heidegger, birokratisasi kebudayaan adalah semacam “the way of revealing something as a standing reserve”, atau suatu bentuk “enframing” yang hendak mengkerangkakan kebudayaan sebagai sarana mengejar tujuan-tujuan dan kepentingan intrumentalis dan ideologis semata.
Di sini tentu saja pengerangkaan yang saya maksud adalah demi kepentingan dan rekayasa politik kekuasaan. Entah rekayasa ini masuk dan menjadi bagian dari hegemoni negara terhadap kehidupan warganegara, atau pola baru penyeragaman dan penaklukan terhadap resistensi kultural masyarakat sekaligus penyusupan kebijakan militerisme dalam ranah kultural, atau bahkan kecenderungan ekonomisasi kebudayaan. Bagian-bagian ini saling kait mengait dan berjalin kelindan dengan bagaimana kekuasaan negara membangun strategi dominasinya dalam kehidupan masyarakat secara “total”.
Ekonomisasi Kebudayaan
Kecenderungan ekonomisasi kebudayaan sebenarnya lahir dari apa yang disebut John B. Cobb, Jr. (seorang tokoh penerus Filsafat Proses) sebagai ekonomisasi politik. Artinya bahwa segala penyusunan kebijakan seringkali dibentuk oleh kepentingan-kepentingan ekonomi. Keuntungan ekonomilah yang men-drive dan mengendalikan kebijakan publik, kendati kebijakan tersebut harus mengorbankan orang lain. Meski memang biasanya faktor-faktor budaya, tradisi atau kepentingan religius memiliki peran dalam isu-isu publik, gejala mutakhir akhir-akhir ini menunjukkan bahwa kepentingan ekonomi memainkan peran determinan.
Dalam konteks inilah saya ingin kembali menegaskan bahwa asumsi para birokrat, dan para teknokrat yang bekerja untuk melayani birokrasi, yang menyatakan bahwa dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan meningkatkan prikehidupan kebudayaan adalah sesuatu yang naif dan omong kosong. Justru sebaliknya, apa yang terjadi sejak orde baru adalah ekonomisasi politik yang melahirkan kehancuran pada ranah kebudayaan. Pokok persoalannya justru terletak pada prinsip-prinsip ekonomi modern dan kekuasaan negara itu sendiri yang cenderung bersifat akultural (Herry Priyono menyebut kekuasaan ini sebagai sang “Leviathan”). Dalam arti ada proses pemaksaan dan penyeragaman yang dibangun atas nama pembangunanisme, modernisme, pertumbuhan ekonomi, stabilitas keamanan dan politik, stabilitas ekonomi (efisiensi dan produktifitas), dan seterusnya. Dalam hal ini cita-cita pembangunan jati diri bangsa dan kebudayaan nasional yang ditiupkan oleh kalangan birokrat dan penguasa tidak jauh dari hasrat dan kepentingan kekuasaan ini.
Dengan lugas bisa dikatakan, birokratisasi dan ekonomisasi kebudayaan sesungguhnya adalah representasi langsung perselingkuhan antara kepentingan modal dan kekuasaan. Sedang pecundangnya adalah komunitas subaltern (baca: komunitas marginal) dan masyarakat bawah sebagai pemilik kebudayaan itu sendiri. Inilah sisi gelap ideologi “kebudayaan madzhab negara” yang disokong para teknokrat kebudayaan kita.
MH NURUL HUDA, Peneliti kebudayaan pada Desantara Institute for Cultural Studies. Mahasiswa STF Driyarkara, Jakarta.
Perlukah Negara Perlu Mengurus Kebudayaan?
Oleh Mh Nurul Huda
URUSAN kebudayaan akhirnya diserahkan pada departemen khusus. Meski demikian, pertanyaan mendasar tetap perlu dikemukakan. Perlukah negara mengatur kebudayaan? Jika penting, masalahnya penting bagi siapa?
Persoalan ini mendesak diperbincangkan karena masalah kebudayaan terkait dengan kehidupan berbangsa dan bernegara. Masalah kebudayaan menyangkut pengalaman dan penghayatan masyarakat terhadap lingkungan sekitar, terutama terhadap hidupnya.
Sebagai cakrawala pengalaman hidup, masyarakat memiliki kebebasan menghayati cara dan pandangan hidupnya tanpa harus diintervensi, diatur, atau dipaksa siapa pun, termasuk negara. Bila itu terjadi, risikonya bisa fatal.
Pengalaman rezim Orde Baru memberi pelajaran pahit, betapa kebudayaan menjadi instrumen dalam skenario nasional untuk menundukkan rakyat, dan menjadikan mereka individu-individu yang patuh, tanpa energi kritis. Hal ini bisa dilihat, misalnya, lewat kebijakan bersemboyan "budaya nasional sebagai puncak budaya-budaya daerah" atau penanaman ideologi negara keluarga ala Orba.
Contoh pertama memuat kepentingan pemerintah saat itu untuk menyeleksi berbagai macam kebudayaan yang dianut masyarakat yang bisa dianggap menjadi modal "pembangunan". Budaya yang dianggap tak menyokong "pembangunan" dan mendukung "stabilitas nasional" berarti terbelakang, dianggap tak berbudaya (uncivilized). Karena itu, harus dieliminasi. Biasanya budaya semacam itu diperlawankan dengan budaya-budaya yang dianggap lebih membawa unsur kemajuan, "beradab", dan modern.
Secara ideologis, Orba menanamkan kekuasaan melalui pencitraan keluarga Indonesia yang harmonis dan patuh. Melalui manipulasi pencitraan, Orba memerintah negara dan membentuk bangsa bak keluarga harmonis. (Mengenai citra keluarga dalam politik Orba lihat S Shiraishi, Pahlawan-pahlawan Belia, 2001). Dalam perjalanannya, dua "diskursus" strategi budaya versi negara ternyata amat berorientasi harmoni dan totalitarian serta menyembunyikan maksud penyeragaman dan penaklukan.
DALAM diskursus kebudayaan belum pernah ditemukan definisi yang mapan mengenai apa itu kebudayaan. Memang para filsuf, antropolog, sosiolog, dan ilmuwan disiplin lain memberi definisi berbeda-beda. Perbedaan ini menunjukkan, tiap pendefinisian terhadap kebudayaan selalu bersifat perspektivis dan parsial. Maka, makna kebudayaan tak pernah benar-benar netral. Karena itu, selalu bersifat dinamis, bisa dipertukarkan dengan budaya kelompok lain yang berbeda dan tak pernah stabil karena selalu tergantung pada penghayatan serta pengalaman hidup individu dan masyarakat yang pada dasarnya selalu berubah.
Bila definisi minimalis terpaksa diberikan, meski mereduksi makna kebudayaan, misalnya budaya sebagai kepercayaan, nilai-nilai, norma, sentimen, dan praktik-praktik yang memberi makna dan nilai pada kehidupan manusia, siapa yang berhak dan berkompeten secara moral dan epistemologi menafsirkan kebudayaan? Pemerintah atau negara tertentu yang dianggap merepresentasikan rakyat atau bangsanya?
Jawabannya jelas, hanya pemilik dan penghayat nilai-nilai dan praktik kebudayaan itulah yang paling berkompeten menafsirkan. Karena mereka yang mencipta, mengalami, menghayati, dan menghidupi praktik-praktik budayanya. Karena itu, pemerintah atau negara tak berwenang menafsirkan budaya rakyatnya. Pendapat ini didasarkan tiga hal.
Pertama, secara teoritis elite pemerintah atau negara tidak memiliki kapasitas dan kompetensi memahami kebudayaan rakyatnya yang beragam. Kedua, secara empiris para elite umumnya tak memiliki kepedulian, sebaliknya justru merusak kekayaan budaya masyarakat. Hal ini tampak dalam kebijakan kebudayaan Orba dengan memperlakukan secara diskriminatif keberadaan agama dan kepercayaan yang berbeda-beda dalam masyarakat. Ketiga, model negara Leviathan Hobbes, yang menjadi impian para pemimpin totaliter dan biasanya diulang- ulang sebagai dasar negara kedaulatan yang berpretensi menghapus konflik dan memelihara perdamaian, kini sudah dianggap usang karena model ini tak mampu mengakomodasi keragaman kebudayaan dan perbedaan pandangan dalam negara yang plural dan heterogen.
Dalam teori politik modern, negara yang baik dan efektif adalah yang mampu mengurusi seminimal mungkin aneka masalah kemasyarakatan. Karena itu, pemerintah yang selalu bertendensi mengatasnamakan rakyat dan hendak mengurusi semua urusan masyarakat justru harus diwaspadai sebagai upaya mengintervensi kehidupan kultural masyarakat. Kapan rakyat bisa berbicara atas nama sendiri bila representasi kehidupan kulturalnya diambil alih negara?
DENGAN adanya departemen kebudayaan dalam susunan kabinet, sebenarnya menunjukkan, pemerintah masih menggunakan cara-cara dan paradigma Orba dalam manajemen politiknya. Bukan hanya kekhawatiran soal munculnya militerisme, tetapi juga kembalinya pandangan tradisional yang menganggap negara menjadi semacam panasea atau institusi politik yang berpretensi menyelesaikan segala persoalan dan semua urusan masyarakat.
Hal ini akan melahirkan bencana dan risiko politik. Pertama, ini membuat ruang kreatif masyarakat untuk mendiskusikan dan menyelesaikan aneka persoalannya kian sempit. Mekanisme dialog antarmasyarakat akan sarat diwarnai formalisme dan berkurangnya inisiatif masyarakat akibat pendekatan politik yang top-down.
Kedua, munculnya departemen kebudayaan akan menjadi semacam "kuda troya" bagi masuknya ragam kepentingan politik untuk menaklukkan dan melumpuhkan kembali daya- daya kultural masyarakat yang plural. Karena, kebudayaan tak pernah netral, departemen ini akan jadi persaingan dominasi kepentingan dan wacana berbagai kelompok yang mungkin akan menentukan arah kebijakan kebudayaan mendatang.
Ketiga, karena departemen kebudayaan adalah hasil representasi budaya yang diproduksi negara, besar kemungkinan terjadi misrepresentasi atas nilai, sentimen, praktik, dan tuntutan masyarakat atas aspirasi budayanya. Akibatnya, apa yang dibayangkan sebagai jati diri atau nilai budaya bangsa bisa jadi hanya manipulasi kepentingan penguasa. Sebagaimana klaim "nilai-nilai ketimuran", "nilai- nilai Asia", atau "nilai-nilai budaya nasional" yang selama ini digunakan elite penguasa sebagai pembenaran pelanggaran prinsip-prinsip demokrasi dan hak-hak politik masyarakat.
Berbagai persoalan itu adalah risiko ketika negara ditempatkan di atas segala-galanya dengan terlalu banyak mengurusi masalah masyarakat. Masalah ini akan menjadi bencana bila kita terlalu pasrah bongkokan tanpa sikap kritis terhadap kebijakan pemerintah yang telah dipilih secara demokratis ini.
MH NURUL HUDA, Peneliti pada Desantara Institute for Cultural Studies. Kini Anggota PKC PMII Jakarta.
Artikel ini dimuat di KOMPAS, Sabtu, 27 November 2004
Kuasa Ekonomi Politik dan Kebudayaan Masyarakat
Oleh Antariksa dan Puthut EA.
Berdasarkan referensi langgam kebijakan negara Orde Baru (Orba), Mh Nurul Huda mengkhawatirkan semakin mandulnya kebudayaan masyarakat karena diurus oleh negara (Kompas, 27/11). Urusan kebudayaan adalah urusan para pemilik, penghayat nilai-nilai dan praktik kebudayaan, yaitu masyarakat. Pertanyaan pentingnya adalah benarkah ancaman terhadap mandulnya kebudayaan masyarakat semata-mata datang dari sebuah institusi yang bernama negara? Dan lalu bagaimanakah posisi sesungguhnya negara dalam hal ini?
Ada sekian banyak alasan yang dikemukakan Nurul Huda untuk mendasari kesimpulan bahwa negara tidak perlu mengurus masalah kebudayaan. Salah satunya karena ia percaya pada teori politik modern bahwa negara yang baik dan efektif adalah yang mampu mengurusi seminimal mungkin aneka masalah kemasyarakatan. Selain itu, ia juga melihat setidaknya ada tiga alasan lain. Pertama, negara—yang dalam hal ini adalah elit politik—tidak mempunyai kompetensi dan kapasitas untuk memahami kebudayaan masyarakatnya yang beragam. Kedua, justru sebaliknya, negara bahkan merusak kebudayaan rakyatnya. Dan ketiga, model negara Leviathan tidak mampu mengakomodasi keragaman kebudayaan dan perbedaan pandangan dalam negara yang majemuk.
Sejauh menyangkut ancaman negara terhadap kebudayaan masyarakat, Nurul Huda telah melakukan pemetaan masalah dengan tepat. Tetapi ia lupa, bahwa ancaman terhadap kebudayaan masyarakat tidak hanya datang dari negara (kuasa politik). Ancaman yang tidak kalah bahayanya—atau malah jauh lebih berbahaya—justru datang dari ‘dunia modal’ (kuasa ekonomi). Pada titik persinggungan antara modal, negara, dan masyarakat, maka kita mesti lebih cermat memetakan peran negara—setidaknya perannya sebagai mesin regulasi yang penting.
Proses rontoknya kebudayaan masyarakat yang menyangkut kepentingan fundamental mereka justru terjadi karena perselingkuhan kuasa ekonomi dengan kuasa politik, antara modal dengan negara. Alih-alih melindungi dan mengakomodasi hak-hak ekonomi, sosial dan kebudayaan masyarakat, negara telah hampir berperan sempurna sebagai agen yang mengakomodasi kepentingan-kepentingan modal semata. Dari catatan sejarah kita bisa melihat bagaimana, misalnya, budaya tanah dan pertanian tradisional dirontokkan oleh kebijakan tanam paksa pemerintah kolonial Hindia Belanda dan kebijakan intensifikasi pertanian (Revolusi Hijau) Orba, budaya pengelolaan hutan tradisonal rontok oleh kebijakan HPH (Hak Penebangan Hutan), atau juga bagaimana kesenian tradisi dijinakkan menjadi sekedar hiburan untuk kepentingan pariwisata.
Paham bahwa negara adalah institusi yang netral telah lama kehilangan dasar alasannya. Pertama, karena memang seharusnya negara memperjuangkan kepentingan-kepentingan masyarakatnya. Dan kedua, karena pada praktiknya kita bisa melihat dengan gamblang bahwa banyak kepentingan yang bisa bermain dalam tubuh negara, baik penguasa modal ekonomi lokal maupun modal ekonomi internasional.
Tetapi pertemuan negara—yang merupakan representasi elit politik dan kekuatan modal ekonomi nasional—dengan modal internasional memang tidak selalu berjalan mulus. Dalam Peristiwa Mei 1998 (Reformasi) misalnya, restrukturisasi modal besar-besaran yang terjadi pada 1965, sekalipun ada hambatan dan riak kecil pada 1978, mendapatkan momentumnya pada 1998. Modal ekonomi internasional sudah tidak lagi bisa mengakomodasi ekonomi kroni Orba yang memakan banyak ongkos produksi, memunculkan keresahan sosial, yang pada gilirannya akan membahayakan dan merusak struktur modal mereka. Kepentingan modal ekonomi internasional itu kemudian bertemu dengan kekuatan rakyat yang bermotif perlawanan dan perbaikan ekonomi-politik.
Lalu bagaimana peta kekuasaan negara pascareformasi? Serta bagaimana kelanjutan peta konflik antara kekuatan modal dan kekuatan rakyat di tubuh negara?
Reformasi, seperti dikemukakan secara ringkas di atas, adalah pertemuan sementara antara kepentingan modal ekonomi internasional dengan daya rakyat melawan penindasnya. Oleh karena itu, langgam-langgam kebijakan reformasi kental dengan kebijakan kompromis. Pemilu multipartai, pemilihan presiden langsung, desentralisasi kekuasaan, dan banyak lagi yang lain, sesungguhnya adalah medan yang di dalamnya terjadi perebutan kepentingan terus-menerus antara kekuatan modal dan kepentingan masyarakat. Kebijakan-kebijakan tersebut bisa menguntungkan masyarakat sekaligus bisa membuka potensi yang besar bagi pemilik modal untuk semakin berkuasa. Masyarakat mempunyai peluang yang besar untuk memainkan bandul reformasi ini sesuai dengan kepentingan kelompok, sektor, maupun kepentingan wilayah mereka. Sedangkan penguasa modal ekonomi juga mempunyai potensi untuk bermain sampai tingkat yang paling kecil dan mendasar tanpa harus melewati birokrasi negara yang terpusat seperti di era Orba.
Bagaimanapun juga, kekuatan-kekuatan tersebut haruslah melewati institusi negara sebagai mesin birokrasi. Kekuatan masyarakat perlu meminjam atau memanfaatkan tangan negara untuk memperkuat perjuangannya, dan penguasa modal ekonomi memerlukan birokrasi negara agar bisa mengeluarkan kebijakan-kebijakan ramah modal. Di wilayah seperti inilah, maka peran negara mesti dilihat secara jeli. Karena tanpa peran negara, kebencian dan trauma masyarakat terhadap negara otoriter Orba, bisa jadi justru akan menikam balik mereka. Lepasnya masyarakat dari otoritarianisme negara, bukan berarti lepasnya masyarakat dari belenggu yang lain. Jika tidak berhati-hati, masyarakat memang bisa lepas dari mulut singa negara, tetapi masuk ke mulut buaya modal. Privatisasi BUMN, swastanisasi lembaga-lembaga pendidikan, dikuasainya hajat hidup masyarakat dalam hal tanah, air, dan sumber-sumber daya alam yang lain, adalah salah satu contoh masuknya masyarakat kita ke dalam mulut buaya modal.
Dengan peta masalah seperti di atas, menurut hemat kami justru negara harus tetap memainkan perannya, tetapi secara proporsional, dan di sisi yang lain masyarakat juga harus bersiasat memanfaatkan peran negara. Kebijakan-kebijakan yang membahayakan kebudayaan dan kepentingan masyarakat dari ancaman modal ekonomi besar haruslah lebih dulu dihadang oleh negara.
Apa yang kita alami sekarang memang masih menyisakan tanda tanya besar. Sebagai contoh, kalau dulu di era Orba kebudayaan disandingkan dengan pendidikan dalam Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, maka sekarang perubahannya tidak semakin baik karena kebudayaan diurus oleh Departemen Pariwisata dan Kebudayaan. Terlepas dari politik kebudayaannya yang masih sentralistis—seperti telah disinggung Nurul Huda—penyandingan kebudayaan dengan pariwisata jelas-jelas memerlihatkan dua hal. Pertama, hal ini merupakan upaya mengkomoditaskan kebudayaan. Dan kedua, hal ini masih melanjutkan “tradisi lama” mereduksi kebudayaan menjadi sekadar kesenian yang steril dan tak ada sangkut-pautnya dengan soal-soal ekonomi politik.
Kerja kebudayaan dalam tubuh negara seharusnya menjadi urusan semua departemen. Karena kerja kebudayaan tidak akan pernah bisa lepas dari kerja ekonomi politik. Misalnya, memudarnya kesenian tradisi dan kebijaksanaan lokal, bukanlah semata-mata soal kesenian yang menjadi tanggungjawab sebuah departemen khusus, melainkan hal itu berkaitan dengan masalah kebijakan pendidikan nasional, kebijakan tentang muatan lokal dalam siaran televisi, kebijakan otonomi daerah, kebijakan tentang investasi modal asing, dan sebagainya. Dengan demikian, kalaupun kerja kebudayaan dilakukan oleh sebuah departemen khusus, maka sifat kerjanya adalah lintas-departemen. Atau tidak perlu ada satu departemen khusus, namun pada masing-masing departemen ada sebuah divisi kebudayaan. Dengan catatan, kedua model tersebut harus mempunyai sikap kebudayaan yang jelas, yaitu berpihak kepada kepentingan masyarakat.
Tetapi
sebagaimana disinggung Nurul Huda, pasrah bongkokan kepada negara untuk
mengurus kebudayaan adalah juga hal yang berbahaya. Oleh karenaya ada
siasat lain yang harus dilakukan masyarakat tanpa sepenuhnya bergantung
pada peran negara. Misalnya melakukan penguatan lembaga-lembaga informal
masyarakat sebagai sebuah sistem dan budaya tandingan, terutama guna
memainkan peran dalam melakukan tawar-menawar dengan kekuasaan negara
dan modal (kebudayaan dominan).
Akhir-akhir ini, bolehlah kita sedikit optimis dengan hal tersebut. Banyak sekali organisasi kebudayaan yang dijalankan oleh anak-anak muda, yang menaruh perhatian pada penguatan berbagai kelompok masyarakat. Ini adalah perkembangan yang menggairahkan, sebagai tandingan atas kecenderungan umum untuk membicarakan dan mereduksi kebudayaan sebagai kesenian belaka. Dan celakanya pembicaraan tentangnya melulu ke masalah penafsiran serta kelindan estetika: wacana tak bertaji dan tak jelas guna sosialnya.
ANTARIKSA, peniliti pada KUNCI Cultural Studies Center.
PUTHUT EA, penulis cerita, anggota Akademi Kebudyaan Yogyakarta.