PMII, SEJARAH DAN ORIENTASI GERAKANNYA PRA REFORMASI
Oleh : Hakim Madda
Masa-masa paling heroik terutama bagi yang mempunyai kesadaran bernegara, barangkali paling kentara pada tahun 1960-an. Kala, itu hampir seluruh warga negara mendapat ruang untuk mengaktualisasikan sikap politiknya. Barsamaan dengan itu pula, banyak orang yang menyebut dengan ”era paceklik” bagi perekonomian Indonesia. Saking maraknya kehidupan partai-partai, orang-orang menjadi tersesat dalam bingkai-bingkai kelompok ideologis yang berwarna-warni. Muncullah isme-isme baru; nasionalisme, sosialisme, komunisme, yang menjadi wadah terhimpunnya warga.
Oleh : Hakim Madda
Masa-masa paling heroik terutama bagi yang mempunyai kesadaran bernegara, barangkali paling kentara pada tahun 1960-an. Kala, itu hampir seluruh warga negara mendapat ruang untuk mengaktualisasikan sikap politiknya. Barsamaan dengan itu pula, banyak orang yang menyebut dengan ”era paceklik” bagi perekonomian Indonesia. Saking maraknya kehidupan partai-partai, orang-orang menjadi tersesat dalam bingkai-bingkai kelompok ideologis yang berwarna-warni. Muncullah isme-isme baru; nasionalisme, sosialisme, komunisme, yang menjadi wadah terhimpunnya warga.
Kondisi semacam ini tidak terkecuali bagi perkumpulan (jam’iyyah) Nahdatul Ulama (NU). Hampir mayoritas anggota jam’iyyah mengafiliasikan dirinya dalam NU dan harus bergabung dengan organisasi yang telah disediakan oleh NU. Muslimat NU (bagi kaum ibu), fatayat (remaja putrid), pemuda Ansor (bagi pemuda), IPNU (bagi pelajar), IPPNU (bagi pelajar putrid). Sementara satu-satunya wadah yang belum terbentuk pada waktu itu adalah bagi para mahasiswa. Maka pada tahun 1960, tepatnya pada tanggal 17 April, para tokoh muda pada saat itu, Mahbub Djunaidi, Zamroni, Said Budairy, beberapa tokoh mahasiswa sepakat mendirikan PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), sebagai wadah kepada mahasiswa yang berafiliasi dengan partai NU, waktu itu.
Dalam konteks ruang dan waktu itu (baca: sistem politik multipartai, kondisi ekonomi yang sangat mempihatinkan, dan PMII yang menjadi underbrow partai NU), maka saat itu, kecuali lebih mengedepankan “wajah” politiknya, tentu saja wadah politik PMII kala itu equivalen dengan sikap dan model politik NU, sebagai induk partai, dengan bahasa lain, seluruh aktivitas sosialnya di dedikasikan demi dan untuk “kepentingan” politik NU. Karena itu mudah dimaklumi, jika PMII kurang tepat dikatakan sangat sulit menyuarakan kehendak dan “kepentingan” dirinya sebagai organisasi pergerakan. Pertanggung jawaban pengurus PMII bukan saja pada warganya, tetapi juga pada organisasi induknya, NU. Implikasi dari situasi semacam ini, bagi PMII kurang mendapat “ruang” cukup, untuk mengaktualisasikan kemampuannya secara maksimal, terutama pada aspek-aspek non politik. Pergulatan pemikiran sebagai karakter dasar setiap pergerakan mahasiswa kurang mendapat tempat.
Akan tetapi pada titik inilah peran politik PMII dalam sejarah politik Indonesia menemukan momentumnya. Sejarah mengajarkan kepada kita bahwa dalam era ini kondisi sosial masyarakat berada pada titik nadir secara ekonomi. Resim sukarno “orla” telah jatuh pada situasi despotic dan gagap mengatasi krisis ekonomi rakyat yang berkepanjangan. Memang hal ini diakibatkan oleh kebijakan sukarno yang menggariskan “ideologi berdikari” yang mengakibatkan ditangguhkannya sejumlah bantuan luar negeri. Inflasi mencapai 600% dan diperburuk dengan kebijakan soekarno yang melakukan “politik konfrontasi” dengan Malaysia, dimana akibatnya separuh dari Anggaran Belanja Negara disedot untuk pembiayaan politik Soekarno tersebut.
Hingar-bingar “politik aliran” dalam sejarah politik Indonesia pasca kemerdekaan, bukan saja menempati posisi khusus bagi perubahan politik Indonesia di kemudian hari, tetapi ia juga menjadi studi yang selalu menarik bagi pengamat, akademisi, peneliti, baik dalam maupun luar negeri.
Era politik multipartai ini, secara sederhana ada empat perioditasi yang dapat diajukan, pertama; periode kelahirannya sampai kurang lebih 1973-an, satu era dimana PMI menjadi underbow partai NU pada era ini PMII tampil sebagai ujung tombak partai NU dalam melakukan sosialisasi dan propaganda program dan cita-cita politik, partai, PMII sudah barang tentu mempuyai “ideology” gerakan yang sama dengan partai NU. PMII pada erah ini baik partai pilitik yang mencoba menjadi juru bicara masyarakat dalam menyuarakan keadilan dan kebenaran, sambil “berteriak”, melalui sejumlah aksi massa, terhadap sejumlah kepentingan sosial utamanya kemiskinan dan kelaparan dibanyak perkampungan Indonesia. Karenanya pada era ini muncul pemimpin-pemimpin PMII yang kharismatik dan berwibawa dihadapan massa, seperti Mahbub Djunaidi “bintang” dalam politik kepemudaan di panggun politik saat itu. Keluarga besar partai NU, baik pemuda Ansor, IPNU atau PMII ibarat para “koboi-koboi kota” yang mampu bertarung dengan “Musuhnya”, PKI dan underbownya. Bahkan ketika HMI hendak dibubarkan oleh rezim Sukarno atas usulan PKI, maka barisan NU termasuk PMII-lah yang membela secara politik maupun massa untuk tetap dipertahankan. Pada perkembangan berikutnya, terjadi reformasi politik maupun perubahan kebijakan pembangunan politik, banyak orang-orang dari partai NU dan termasuk PMII “disingkirkan”, hal ini adalah persoalan lain yang dapat kita perdebatkan sebagai kajian historis organisasi ini. Tetapi sejarah mencatatan bahwa PMII dalam sejarah republik terutama saat-saat kelahiran ORBA ikut memberikan peran politik yang sangat besar. Ibarat koboi kota, setelah memenangkan pertarungan itu kembali ke kampung dan melakukan “aktvitas agraris” yang tersedia di sudut-sudut perkampungan Indonesia.
Kedua, tahun 1973 sampai akhir 1980-an dapat disebut sebagai masa pencarian identitas diri setelah keluar dari partai NU. Sepanjang era ini masih tersisa “tarik-menarik” antara kiyai dan “senior” NU yang tidak menginginkan PMII keluar dari NU, berhadapan dengan kelompok-kelompok yang setuju dengan kesepakatan Murnajati. Priode ini dapat pula di sebut masa-masa tradisi dan konsolidasi.Tugas utama PMII pada priode ini adalah melakukan konsolidasi secara menyeluruh.Hal ini mengingat PMII berada dalam situasi transisi yang sebelumnya merupakan organisasi dependen (bergantung) pada partai NU, menjadi organisasi idependen yang tidak lagi terikat baik secara structural organisatoris maupun tindakan. Sebuah era dimana atmosfir politik dalam panggung politik orba mengalami pergesekan. Kehidupan politik mengalami penataan ulang yang diorientasikan kepada Stabilitas politik, ketenangan politik. Pada era ini pula partai-partai politik di rasionalisasikan menjadi tiga kekuatan Formal. Tidak seperti masa sebelumnya, dimana gerakan-gerakan politik organisasi mahasiswa ikut menentukan kebijakan pemerintah, maka dalam periode ini benar-benar merupakan era domestifikasi, era “penjinakan” gerakan mahasiswa, dan karenanya kehidupan berorganisasi mengalami “kelesuan” yang luar biasa. Akhirnya mahasiswa pun merasa tidak puas, karena telah terjadi penyimpangan dari yang dulu mereka dambakan dan perjuangkan, yaitu kehidupan negara yang betul-betul mengamalkan Pancasila dan UUD 45. penyimpangan tersebut terutama dalam pemilu 1971 dan 1977. ketidak puasan mahasiswa dituangkan melalui cara-cara menyuarakan aspirasinya lewat Koran-koran kampus yang hidup dengan suburnya, disamping aksi coret-coret kampus dengan plakat-plakat berisi protes yang bernada tuntutan, bahkan aksi turun jalan menuntut kepemimpinan nasional kembali kejalan semuala. Hal ini dilakukan menjelang sidang umum MPR 1978, namun, pemerintah beranggapan lain, aksi mahasiswa itu dinilai menjerumuskan pada perorangan wibawa pemerintah dan menggangu stabilitas nasional. Para tokoh mahasiswa penggerak aksi ditangkap dan dimejahijaukan dengan tuduhan merongrong wibawa pemerintah dan menggangu stabilitas nasional, tidak luput dari aksi penangkapan itu adalah sahabat Ahmad Bagja (ketua umum PB. PMII) agar tidak bergerak memobilisir mahasiswa .
PMII periode 1994-1997 dapat pula disebut sebagai era “kebangkitan kembali” PMII dengan identitas yang :tegas”, tegas terhadap ketidak adilan penyelenggaraan pemerintah, kekokohan tingkat basis (mahasiswa), serta mengibarkan bendera Islam yang inklusif, toleran dan egaliter. Disini mahasiswa memakai istrumen kekuatan opini massa sebagai pendorong munculnya diskusi publik soal aspirasi-aspirasi mahasiswa, seperti demokratisasi, keterbukaan, pemerataan ekonomi, kepastian hukum dan masalah-masalah yang berhubungan dengan hak asasi manusia, . para aktivis sering memulai gerakannya dengan mimbar bebas Era kebangkitan kembali dengan suatu identitas yang jelas bagi PMII, merupakan momentum yang relevan untuk tetap dipertahankan, dan bahkan harus diusahakan untuk ditindak lanjuti dengan tahapan-tahapan yang terencana. Karena itu, tegas PMII mendatang khususnya pengurus korcab, semakin menggairakan intelektualitas yang dilandasi nilai-nilai spritualitas, serta ikut memikirkan nasib masa depan negara kesatuan RI, yang sampai hari ini sedang dalam :ujian besar” menjalani pemilu baik legeslatif maupun pemilihan presiden secara langsung 2004.
Dengan latar historis serta realitas obyektif “atmosfir” PMII saat ini, maka saya mengajukan beberapa tawaran yang bersifat ideologis, politis maupun pragmatis bagi PMII mendatang. Secara makro berangkali PMII harus lebih menekankan diri pada wilayah pengembangan intelektual warga, serta bertanggung jawab atas masa depan bangsa. Dalam konteks ini PMII harus mengorientasikan diri pada tiga persoalan pokok, memperkokoh basis massa (mahasiswa) dan basis cultural. Hal ini merupakan titik tekan utama, karena sebagai organisasi mahasiswa, PMII akan tetap bertahanan, jika ia mampu memberikan “nilai lebih” bagi mahasiswa itu sendiri. Sekaligus memberikan pemahaman di masa mendatang.
Ketiga, pemberdayaan poitik warganya melalui penanaman kesadaran hal dan kewajibannya sebagai warga negara. Tanpa landasan akan hak dan kewajiban, maka perilaku seorang warga negara baik dalam bidang politik ekonomi dan perilaku di sosial lainnya hanya akan mempertimbangakan kepentinan peribadinya.
Keempat, revitalisasi tradisi. Pengertiannya penanaman kesadaran di kalangan intelektual khususnya ilmu pengetahuan klasik yang bersumber dari Islam ataupun dari yunani. Meminjam istilah lain, baik yang bersumber dari timur maupun barat, yang semakin di tinggalkan oleh kalangan mahasiswa. Upaya ini tentu dilakukan secara terus menerus oleh setiap mahasiswa, sehingga pada ujungnya terciptalah berbagai komunitas yang berbudaya ditanah air. Sehingga pada kurun tertentu, entah generasi yang kesekian setelah generasi ini, mereka dapat hidup dalam masyarakat Indonesia yang berpendapat.
Orientasi PMII dalam konteks revitalisasi tradisi ini dapat dirangkum dalam idiom “gerakan pembaharuan” tanpa memangkas pilar tradisi atau “ perkawinan tradisi” dan “modernisasi meminjam istilah santri “al-Muhafadhah ala Qodimi al-Shalih wa al akhdz ala Jadydi Ashlah”, merawat nilai-nilai yang baik dan mengadopsi nilai-nilai baru yang lebih baik.
Pertayaannya barangkali, mengapa harus tradisi ? ada banyak penjelasan untuk menjawab pertayaan ini. Akan tetapi PMII memandang bahwa perubahan masyarakat akan mempuyai makna jika ia berangkat dari nilai-nilai yang diacu oleh masyarakat itu sendiri. Perubahan masyarakat Indonesia bukan sekedar melakukan alih teknologi, transfer ilmu pengetahuan ataupun adopsi budaya yang sama sekali barat, dengan implikasi yang sangat gawat, terciptanya produk-produk berupa “manusia mesin”. Manusia tanpa hati murani, manusia yang telah kehilangan kemanusiaanya. Kenyataan di beberapa negara menyebutkan bahwa modernisasi tanpa ditopang dengan tradisi yang kokoh bukan saja menciptakan alineasi masyarakat (keterasingan), tetapi lebih jauh lagi akan menciptakan dehumanisasi masyarakat.
Tradisi yang dipahami PMII dalam konteks ini, memiliki spektrum yang luas. Hanya dapat didefinisikan dalam beberapa makna. Pertama, tradisi dalam pengertian ruang dan waktu dimana warga PMII berbeda. Yakni bahwa akar kultur warga PMII adalah bagian dari masyarakat agraris (rural society) dan masyarakat santri (baca :Abdurrahman wahid, pesantren sebagai sub kultur). Kesadaran akan tradisi dan kultur menjadi penting, karena ia merupakan bagian dari kesadaran akan sejarahnya. Masyarakat agraris dan santri adalah lambang dari mayarakat paguyuban yang mampu hidup berdampingan dengan siapa pun secara dami. Simbol dari kebersamaan, egaiter, serta keadilan yang dilandasi nilai-nilai religius. Dengan kesadaran ini pula warga PMII akan mampu hidup perdampingan dengan siapapun secara damai tanpa dibatasi oleh perbedaan etnis, budaya, agama atau perbedaan yang lain.
Kedua, tradisi dimaknai sebagai wacana. Yaitu khazanah intelektual, ilmu pengetahuan Islam klasik karya para pemikir muslim dimasa lalu (ulama salaf). Pemahaman ini menjadi sangat penting dan relevan bagi warga PMII, sebagai salah satu upaya terhadap pemahaman Islam secara holistic. Tanpanya, seorang muslim siapapun akan mudah terjebak menjadikan Islam sebagai ideology dalam pengertian yang sempit. Yakni menjadikan Islam sebagai basis dari identitas politik (political identy). PMII memandang hal semacam ini tidak relevan dalam konteks kehidupan masyarakat indonesia sekarang ini.
Tradisi dimaknai sebagai nilai-nilai yang ada dan berkembang di bumi nusantara sampai nation state (negara bangsa) yang bernama Indonesia terbentuk. Dalam ari yang luas, PMII menyadari bahwa negara Indonesia ada, bukan sesuatu yang taken for granted (ada dengan sendirinya), tepai lebih merupakan sebuah usaha dan perjuangan panjang nenek moyang kita. Kemudian menemukan momentum yang sangat berarti pada tanggal 17 Agustus 1945. karenanya jika pada perkembangan sejarah, Indonesia harus berubah “wajah” menjadi sebuah negara modern, maka niscaya ia akan tetap bersandar dari nilai-nilai asli (indigenous) yang sudah dan akan terbentuk dalam bumi nusantara tersebut, sampai terwujudnya masyarakat Indonesia sekarang.
Ketiga, revitalisasi tradisi membangkitkan kepada gerakan religiusitas. Apa yang dimaksdu dengan religiusitas dalam konteks garakan, adalah suatu gerakan yang dibangun diatas landasan nilai-nilai agama. Sebuah semangat profanisasi ajaran (nilai) agama dalam aktivitas keduniawian. Hal ini dilandasi atas kemerosotan moral di kalangan para pemimpin bangsa, yang tentu salah satunya disebabkan oleh terkikisnya penghayatan terhadap agama yang dianutnya. Revitalisasi tidak hanya menggali kembali nilai-nilai (tradisi) agama yang ada, akan tetapi lebih jauh lagi menjadikan agama sebagai “roh” dari setiap tindakan sosial seseorang baik tindakan sosial seseorang baik tindakan politik, tindakan ekonomi maupun tindakan sosial lainnya. Dari berbagai sumber Ketua Umum PB. PMII dan Periodenya :
1. H. Mahbub Djanaidy (1960-1963)
2. H. Mahbub Djunaidy (1963-1967)
3. Muh. Zamroni (1967-1967)
4. Muh. Zamroni (1970-1973)
5. Abduh Paddare (1973-1977)
6. Ahmad Bagja (1977-1981)
7. Muhyiddin Arubusman (1982-1984)
8. Surya Darma Ali 91985-1988)
9. M. Iqbal Assegaf 01988-1991)
10. Ali Masykur Musa (1991-1994)
11. A. Muhaimin Iskandar (1994-1997)
12. Syaiful Bahri Anshori (1997-2000)
13. Nurson Wahid (2000-2003)
14. A. Malik Haramain (2003-2005).